Wajah-wajah siapakah yang terbias di balik angka-angka tersebut, bagaimana kisah mereka? Apakah mimpi mereka? Mereka telah meninggalkan keluarga dan anak-anak mereka. Mereka juga meninggalkan sesuatu dibalik kisah dan kesimpulan tentang mengapa hidup mereka telah berakhir dengan begitu cepat.
Petikan beberapa kisah dibalik angka keatian ibu
….Waktu itu bagus (lancar) keluar, itumi kenapa tidak panggil bidan karena lancarji persalinannya, akhirnya satu jam kapan setelah melahirkan, darah keluar mengalir, nanti meninggal baru diliat pendarahan, baru pergi cari bidan…. (Kasus A, SHR 27 tahun, 2 April 2009)
…itu hari dokter di puskesmas yang periksa, tinggi tekanan darahnya langsung dikasi rujukan ke RS Bulukumba, tapi ini ibu tidak langsung kesana karena belum siap belum ada sakit-sakit katanya, besok siang tiba-tiba kejang baru dibawa ke RS, menurut keluarganya “beberapa menit anaknya lahir meninggalki, kemungkinan eklamsia itu… (Kasus B, Bidan ML 28 tahun, 3 April 2009)
Suami itu berkeras tidak mau membawa istirinya ke rumah sakit kepada bidan dia menyatakan “Mati atau hidup istri saya melahirkan disini, karena mati atau hidup itu khan takdir” BIdan lalu berupaya sekut tenaga untuk menolong persalinan tersebut, namun saying maut lebih cepat mencemput sang ibu dan bayinya (Kasus C).
Itu hanya sekelumit cerita tentang kematian ibu akibat kehamilan dan persalinan, masih banyak kisah-kisah lain yang lebih teragis…
Gambaran buruk tentang peningkatan global kematian maternal seperti sudah terpatri dibenak setiap orang. Siapapun dapat mengulangi cerita tersebut, seakan melafalkan mantera dan tanpa pernah mencoba untuk berpikir apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah besar dan berat tersebut. Mungkin akan menimbulkan masalah yang rumit apabila kita dihadapkan dengan tujuan dan target yang cukup menantang (dibuat oleh setiap Negara) untuk menurunkan jumlah kematian maternal.
Secara sederhana, simak masalah dibalik angka-angka di dalam kalimat ini : Setiap tahun, sekitar 8 juta perempuan menderita komplikasi yang terkait dengan kehamilan dan lebih dari setengah juta telah meninggal. Di banyak Negara berkembang 1 diantara 16 wanita akan meninggal akibat komplikasi kehamilan.Bandingkan dengan 1 diantara 5000 di Negara maju. Setiap kematian atau komplikasi berkepanjangan dari seorang perempuan adalah tragedikhusus bagi dirinya,suaminya anaknya dan keluarganya. Lebih tragis lagi setiap tahun diperkirakan 1 juta anak meninggal menyusul kematian ibu mereka. Anak-anak yang ibunya meninggal kurang mendapat perhatian dan perawatan dibandingkan dengan yang memiliki ibu yang masih hidup (WHO,2007).
Indonesia adalah salah satu Negara yang masih belum bisa lepas dari belitan angka kematian Ibu yang tinggi, Bahkan tertinggi di Asia menurut SDKI, 2007 Angka kematian Ibu masih mencapai 248/100.000 Kelahiran hidup.
Angka-angka diatas memang cukup mengejutkan, tetapi hal ini hanya sebagian dari masalah yang sesungguhnya. Secara khusus tidak dapat diungkapkan tentang wajah-wajah dibelakang angka-angka tersebut, kisah tersendiri tentang derita, cemas dan alasan dasar yang sebenarnya sehingga menyebabkan perempuan tertentu meninggal dunia. Yang paling penting, semua itu tidak mampu menceritakan mengapa masih saja terjadi kematian, padahal ilmu pengetahuan dan sumberdaya untuk mencegah kematian tersebut telah tersedia atau dapat diperoleh….
by : Indra Dn
Refleksi Hari Ibu : Di Balik Angka Kematian ibu
Malaria dan Penanganannya
Sumber : infeksi.com
Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil) serta demam berkepanjangan. Malaria adalah penyakit yang menyerang manusia, burung, kera dan primata lainnya, hewan melata dan hewan pengerat, yang disebabkan oleh infeksi protozoa dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin menggigil) serta demam berkepanjangan.
Dengan munculnya program pengendalian yang didasarkan pada penggunaan residu insektisida, penyebaran penyakit malaria telah dapat diatasi dengan cepat. Sejak tahun 1950, malaria telah berhasil dibasmi di hampir seluruh Benua Eropa dan di daerah seperti Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Namun penyakit ini masih menjadi masalah besar di beberapa bagian Benua Afrika dan Asia Tenggara. Sekitar 100 juta kasus penyakit malaria terjadi setiap tahunnya dan sekitar 1 persen diantaranya fatal. Seperti kebanyakan penyakit tropis lainnya, malaria merupakan penyebab utama kematian di negara berkembang.
Pertumbuhan penduduk yang cepat, migrasi, sanitasi yang buruk, serta daerah yang terlalu padat, membantu memudahkan penyebaran penyakit tersebut. Pembukaan lahan-lahan baru serta perpindahan penduduk dari desa ke kota (urbanisasi) telah memungkinkan kontak antara nyamuk dengan manusia yang bermukim didaerah tersebut.
Penyakit Malaria yang terjadi pada manusia
Penyakit malaria memiliki 4 jenis, dan masing-masing disebabkan oleh spesies parasit yang berbeda. Gejala tiap-tiap jenis biasanya berupa meriang, panas dingin menggigil dan keringat dingin. Dalam beberapa kasus yang tidak disertai pengobatan, gejala-gejala ini muncul kembali secara periodik. Jenis malaria paling ringan adalah malaria tertiana yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, dengan gejala demam dapat terjadi setiap dua hari sekali setelah gejala pertama terjadi (dapat terjadi selama 2 minggu setelah infeksi).
Demam rimba (jungle fever ), malaria aestivo-autumnal atau disebut juga malaria tropika, disebabkan oleh Plasmodium falciparum merupakan penyebab sebagian besar kematian akibat malaria. Organisme bentuk ini sering menghalangi jalan darah ke otak, menyebabkan koma, mengigau, serta kematian. Malaria kuartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, memiliki masa inkubasi lebih lama daripada penyakit malaria tertiana atau tropika; gejala pertama biasanya tidak terjadi antara 18 sampai 40 hari setelah infeksi terjadi. Gejala tersebut kemudian akan terulang kembali setiap 3 hari. Jenis ke empat dan merupakan jenis malaria yang paling jarang ditemukan, disebabkan oleh Plasmodium ovale yang mirip dengan malaria tertiana.
Pada masa inkubasi malaria, protozoa tumbuh didalam sel hati; beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam.
Penanganan
Sejak tahun 1638 malaria telah diatasi dengan getah dari batang pohon cinchona, yang lebih dikenal dengan nama kina, yang sebenarnya beracun dan menekan pertumbuhan protozoa dalam jaringan darah. Pada tahun 1930, ahli obat-obatan Jerman berhasil menemukan Atabrine ( quinacrine hydrocloride ) yang pada saat itu lebih efektif daripada quinine dan kadar racunnya lebih rendah. Sejak akhir perang dunia kedua, klorokuin dianggap lebih mampu menangkal dan menyembuhkan demam rimba secara total, juga lebih efektif dalam menekan jenis-jenis malaria dibandingkan dengan Atabrine atau quinine. Obat tersebut juga mengandung kadar racun paling rendah daripada obat-obatan lain yang terdahulu dan terbukti efektif tanpa perlu digunakan secara terus menerus.
Namun baru-baru ini strain Plasmodium falciparum, organisme yang menyebabkan malaria tropika memperlihatkan adanya daya tahan terhadap klorokuin serta obat anti malaria sintetik lain. Strain jenis ini ditemukan terutama di Vietnam, dan juga di semenanjung Malaysia, Afrika dan Amerika Selatan. Kina juga semakin kurang efektif terhadap strain plasmodium falciparum. Seiring dengan munculnya strain parasit yang kebal terhadap obat-obatan tersebut, fakta bahwa beberapa jenis nyamuk pembawa (anopheles) telah memiliki daya tahan terhadap insektisida seperti DDT telah mengakibatkan peningkatan jumlah kasus penyakit malaria di beberapa negara tropis. Sebagai akibatnya, kasus penyakit malaria juga mengalami peningkatan pada para turis dari Amerika dan Eropa Barat yang datang ke Asia dan Amerika Tengah dan juga diantara pengungsi-pengungsi dari daerah tersebut. Para turis yang datang ke tempat yang dijangkiti oleh penyakit malaria yang tengah menyebar, dapat diberikan obat anti malaria seperti profilaksis (obat pencegah).
Obat-obat pencegah malaria seringkali tetap digunakan hingga beberapa minggu setelah kembali dari bepergian. Mefloquine telah dibuktikan efektif terhadap strain malaria yang kebal terhadap klorokuin, baik sebagai pengobatan ataupun sebagai pencegahan. Namun obat tersebut saat ini tengah diselidiki apakah dapat menimbulkan efek samping yang merugikan. Suatu kombinasi dari sulfadoxine dan pyrimethamine digunakan untuk pencegahan di daerah-daerah yang terjangkit malaria yang telah kebal terhadap klorokuin. Sementara Proguanil digunakan hanya sebagai pencegahan.
Saat ini para ahli masih tengah berusaha untuk menemukan vaksin untuk malaria. Beberapa vaksin yang dinilai memenuhi syarat kini tengah diuji coba klinis guna keamanan dan keefektifan dengan menggunakan sukarelawan, sementara ahli lainnya tengah berupaya untuk menemukan vaksin untuk penggunaan umum. Penyelidikan tengah dilakukan untuk menemukan sejumlah obat dengan bahan dasar artemisin, yang digunakan oleh ahli obat-obatan Cina untuk menyembuhkan demam. Bahan tersebut terbukti efektif terhadap Plasmodium falciparum namun masih sangat sulit untuk diperbanyak jumlahnya.
Malaria adalah penyakit yang dapat bersifat cepat maupun lama prosesnya, malaria disebabkan oleh parasit malaria / Protozoa genus Plasmodium bentuk aseksual yang masuk kedalam tubuh manusia ditularkan oleh nyamuk malaria ( anopeles ) betina ( WHO 1981 ) ditandai dengan deman, muka nampak pucat dan pembesaran organ tubuh manusia. Parasit malaria pada manusia yang menyebabkan Malaria adalah Plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium ovale dan plasmodium malariae.Parasit malaria yang terbanyak di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan plasmodium vivax atau campuran keduanya, sedangkan palsmodium ovale dan malariae pernah ditemukan di Sulawesi, Irian Jaya dan negara Timor Leste. Proses penyebarannya adalah dimulai nyamuk malaria yang mengandung parasit malaria, menggigit manusia sampai pecahnya sizon darah atau timbulnya gejala demam. Proses penyebaran ini akan berbeda dari setiap jenis parasit malaria yaitu antara 9 ? 40 hari ( WHO 1997 )
Siklus parasit malaria adalah setelah nyamuk Anopheles yang mengandung parasit malaria menggigit manusia, maka keluar sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk kedalam darah dan jaringan hati. Parasit malaria pada siklus hidupnya, membentuk stadium sizon jaringan dalam sel hati ( ekso-eritrositer ). Setelah sel hati pecah akan keluar merozoit / kriptozoit yang masuk ke eritrosit membentuk stadium sizon dalam eritrosit ( stadium eritrositer ), mulai bentuk tropozoit muda sampai sison tua / matang sehingga eritrosit pecah dan keluar merosoit. Merosoit sebagian besar masuk kembali ke eritrosit dan sebagian kecil membentuk gametosit jantan dan betina yang siap untuk diisap oleh nyamuk malaria betina dan melanjutkan siklus hidup di tubuh nyamuk (stadium sporogoni). Pada lambung nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan (mikro gamet) dan sel gamet betina (makro gamet) yang disebut zigot. Zigot akan berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Setelah ookista matang kemudian pecah, maka keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk yang siap untuk ditularkan ke dalam tubuh manusia. Khusus P. Vivax dan P. Ovale pada siklus parasitnya di jaringan hati (sizon jaringan), sebagian parasit yang berada dalam sel hati tidak melanjutkan siklusnya ke sel eritrosit tetapi tertanam di jaringan hati disebut Hipnosoit (lihat bagan siklus), bentuk hipnosoit inilah yang menyebabkan malaria relapse. Pada penderita yang mengandung hipnosoit, apabila suatu saat dalam keadaan daya tahan tubuh menurun misalnya akibat terlalu lelah/sibuk/stres atau perobahan iklim (musim hujan), maka hipnosoit akan terangsang untuk melanjutkan siklus parasit dari dalam sel hati ke eritrosit. Setelah eritrosit yang berparasit pecah akan timbul gejala penyakitnya kembali. Misalnya 1 ? 2 tahun yang sebelumnya pernah menderita P. Vivax/Ovale dan sembuh setelah diobati, suatu saat dia pindah ke daerah bebas malaria dan tidak ada nyamuk malaria, dia mengalami kelelahan/stres, maka gejala malaria muncul kembali dan bila diperiksa SD-nya akan positif P. Vivax/Ovale.
Pada P. Falciparum dapat menyerang ke organ tubuh dan menimbulkan kerusakan seperti pada otak, ginjal, paru, hati dan jantung, yang mengakibatkan terjadinya malaria berat/komplikasi, sedangkan P. Vivax, P. Ovale dan P. Malariae tidak merusak organ tersebut. P. falciparum dalam jaringan yang mengandung parasit tua di dalam otak, peristiwa ini yang disebut sekuestrasi. Pada penderita malaria berat, sering tidak ditemukan plasmodium dalam darah tepi karena telah mengalami sekuestrasi. Meskipun angka kematian malaria serebral mencapai 20 ? 50 %, hampir semua penderita yang tertolong tidak menunjukkan gejala sisa neurologis (sekuele) pada orang dewasa. Malaria pada anak sebagian kecil dapat terjadi sekuele. Pada daerah hiperendemis atau immunitas tinggi apabila dilakukan pemeriksaan SD sering dijumpai SD positif tanpa gejala klinis pada lebih dari 60 % jumlah penduduk.
PENATALAKSANAAN MALARIA BERAT
Selalu lakukan pemeriksaan secara legaartis, yang tdd :
Anamnesis secara lengkap (allo dan/ auto anamnesis bila memungkinkan)
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan laboratorium : parasitologi, darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal dan lain-lain untuk mendukung/menyingkirkan diagnosis/komplikasi lain, misal :: punksi lumbal, foto thoraks, dan lain-lain.
Penatalaksanaan malaria berat secara garis besar mempunyai 3 komponen penting yaitu :
Terapi spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
Terapi supportif (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Pengobatan terhadap komplikasi
Pada setiap penderita malaria berat, maka tindakan yang dilakukan di puskesmas sebelum dirujuk adalah :
A. Tindakan umum
B. Pengobatan simptomatik
C. Pemberian anti malaria pra rujukan : dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal)
A. Tindakan umum ( di tingkat Puskesmas ) :
Persiapkan penderita malaria berat untuk dirujuk ke rumah sakit/fasilitas pelayanan yang lebih tinggi, dengan cara :
Jaga jalan nafas dan mulut untuk menghindari terjadinya asfiksia, bila diperlukan beri oksigen (O2)
Perbaiki keadaan umum penderita (beri cairan dan perawatan umum)
Monitoring tanda-tanda vital antara lain : keadaan umum, kesadaran, pernafasan, tekanan darah, suhu, dan nadi setiap 30 menit (selalu dicatat untuk mengetahui perkembangannya)
Untuk konfirmasi diagnosis, lakukan pemeriksaan SD tebal. Penilaian sesuai kriteria diagnostik mikroskopik.
Bila hipotensi, tidurkan dalam posisi Trendenlenburg dan diawasi terus tensi, warna kulit dan suhu, laporkan ke dokter segera.
Kasus dirujuk ke rumah sakit bila kondisi memburuk
Buat / isi status penderita yang berisi catatan mengenai : identitas penderita, riwayat perjalanan penyakit, riwayat penyakit dahulu, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (bila tersedia), diagnosis kerja, diagnosis banding, tindakan & pengobatan yang telah diberikan, rencana tindakan/pengobatan, dan lain-lain yang dianggap perlu (misal : bila keluarga penderita menolak untuk dirujuk maka harus menandatangani surat pernyataan yang disediakan untuk itu). Catatan vital sign disatukan kedalam status penderita.
B. Pengobatan simptomatik :
Pemberian antipiretik untuk mencegah hipertermia : parasetamol 15 mg/KgBB/x, beri setiap 4 jam dan lakukan juga kompres hangat.
Bila kejang, beri antikonvulsan : Dewasa : Diazepam 5-10 mg IV (secara perlahan jangan lebih dari 5 mg/menit) ulang 15 menit kemudian bila masih kejang. Jangan diberikan lebih dari 100 mg/24 jam.
Bila tidak tersedia Diazepam, sebagai alternatif dapat dipakai Phenobarbital 100 mg IM/x
(dewasa) diberikan 2 x sehari.
C. Pemberian obat anti malaria spesifik :
Kina intra vena (injeksi) masih merupakan obat pilihan (drug of choice) untuk malaria berat. Kemasan garam Kina HCL 25 % injeksi, 1 ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian anti malaria pra rujukan (di puskesmas) : apabila tidak memungkinkan pemberian kina perdrip maka dapat diberikan dosis I Kinin antipirin 10 mg/KgBB IM (dosis tunggal).
Cara pemberian :
Kina HCL 25 % (perdrip), dosis 10mg/Kg BB atau 1 ampul (isi 2 ml = 500 mg) dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5 % atau dextrose in saline diberikan selama 8 jam dengan kecepatan konstan 2 ml/menit, diulang dengan cairan yang sama setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat.
Bila penderita sudah dapat minum, Kina IV diganti dengan Kina tablet / per oral dengan dosis 10 mg/Kg BB/ x dosis, pemberian 3 x sehari (dengan total dosis 7 hari dihitung sejak pemberian infus perdrip yang pertama).
Catatan :
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena dapat menyebabkan kadar dalam plasma sangat tinggi dengan akibat toksisitas pada jantung dan kematian.
Bila karena berbagai alasan Kina tidak dapat diberikan melalui infus, maka dapat diberikan IM dengan dosis yang sama pada paha bagian depan masing-masing 1/2 dosis pada setiap paha (jangan diberikan pada bokong). Bila memungkinkan untuk pemakaian IM, kina diencerkan dengan normal saline untuk mendapatkan konsentrasi 60-100 mg/ml
Apabila tidak ada perbaikan klinis setelah pemberian 48 jam kina parenteral, maka dosis maintenans kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya dan lakukan pemeriksaan parasitologi serta evaluasi klinik harus dilakukan.
Total dosis kina yang diperlukan :
Hari 0 : 30 mg/Kg BB
Hari I : 30 mg/Kg BB
Hari II dan berikutnya : 15-20 mg/Kg BB.
Dosis maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
Hindari sikap badan tegak pada pasien akut selama terapi kina untuk menghindari hipotensi postural berat.
Bila tidak memungkinkan dirujuk, maka penanganannya : lanjutkan penatalaksanaan sesuai protap umum Rumah Sakit (seperti telah diuraikan diatas), yaitu :
Pengobatan spesifik dengan obat anti malaria.
Pengobatan supportif/penunjang (termasuk perawatan umum dan pengobatan simptomatik)
Ditambah pengobatan terhadap komplikasi.
PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI
1. Malaria cerebral
Didefinisikan sebagai unrousable coma pada malaria falsiparum, suatu perubahan sensorium yaitu manifestasi abnormal behaviour/kelakuan abnormal pada seorang penderita dari mulai yang paling ringan sampai koma yang dalam. Terbanyak bentuk yang berat.
Diantaranya berbagai tingkatan penurunan kesadaran berupa delirium, mengantuk, stupor, dan ketidak sadaran dengan respon motorik terhadap rangsang sakit yang dapat diobservasi/dinilai. Onset koma dapat bertahap setelah stadium inisial konfusi atau mendadak setelah serangan pertama. Tetapi ketidak sadaran post iktal jarang menetap setelah lebih dari 30-60 menit. Bila penyebab ketidaksadaran masih ragu-ragu, maka penyebab ensefalopahty lain yang lazim ditempat itu, seperti meningoensefalitis viral atau bakterial harus disingkirkan.
Manifestasi neurologis ( 1 atau beberapa manifestasi ) berikut ini bisa ada :
Ensefalopathy difus simetris.
Kejang umum atau fokal.
Tonus otot dapat meningkat atau turun.
Refleks tendon bervariasi.
Terdapat plantar fleksi atau plantar ekstensi.
Rahang mengatup rapat dan gigi kretekan (seperti mengasah).
Mulut mencebil (pouting) atau timbul refleks mencebil bila sisi mulut dipukul.
Motorik abnormal seperti deserebrasi rigidity dan dekortikasi rigidity.
Tanda-tanda neurologis fokal kadang-kadang ada.
Manifestasi okular : pandangan divergen (dysconjugate gaze) dan konvergensi spasme sering terjadi. Perdarahan sub konjunctive dan retina serta papil udem kadang terlihat.
Kekakuan leher ringan kadang ada. Tetapi tanda Frank (Frank sign) meningitis, Kernigs (+) dan photofobia jarang ada. Untuk itu adanya meningitis harus disingkirkan dengan pemeriksaan punksi lumbal (LP).
Cairan serebrospinal (LCS) jernih, dengan < 10 lekosit/ml, protein sering naik ringan.
Di derah endemik malaria, semua kasus demam dengan perubahan sensorium harus diobati sebagai serebral malaria, sementara menyingkirkan meningoensefalitis yang biasa terjadi di tempat itu.
Prinsip penatalaksanaan :
Penatalaksanaan malaria serebral pada umumnya sama seperti pada malaria berat. Disamping pemberian obat anti malaria spesifik, beberapa hal penting perlu diperhatikan :
Perawatan pasien tidak sadar.
Pengobatan simptomatik : pengobatan hiperpireksia dan pengobatan yang cepat bila ada kejang. Cara pemberian anti piretik dan antikonvulsan seperti sudah dijelaskan diatas.
Deteksi dini & pengobatan komplikasi berat lainnya.
Hati-hati terhadap terjadinya infeksi bakteri terutama pada pasien-pasien dengan pemasangan IV-line, intubasi endotracheal atau kateter saluran kemih. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya aspirasi pneumonia.
Perawatan pasien tidak sadar meliputi :
Buat grafik suhu, nadi dan pernafasan secara akurat.
Pasang IVFD. Untuk mencegah terjadinya trombophlebitis dan infeksi yang sering terjadi melalui IV-line maka IV-line sebaiknya diganti setiap 2-3 hari.
Pasang kateter urethra dengan drainase/ kantong tertutup. Pemasangan kateter dengan memperhatikan kaidah a/antisepsis.
Pasang nasogastric tube (maag slang) dan sedot isi lambung untuk mencegah aspirasi pneumonia.
Mata dilindungi dengan pelindung mata untuk menghindari ulkus kornea yang dapat terjadi karena tidak adanya refleks mengedip pada pasien tidak sadar.
Menjaga kebersihan mulut untuk mencegah infeksi kelenjar parotis karena kebersihan rongga mulut yang rendah pada pasien tidak sadar.
Ubah/balik posisi lateral secara teratur untuk mencegah luka dekubitus dan hypostatic pneumonia.
Hal-hal yang perlu dimonitor :
Tensi, nadi, suhu dan pernafasan setiap 30 menit.
Pemeriksaan derajat kesadaran dengan modifikasi Glasgow coma scale (GCS) setiap 6 jam.
Hitung parasit setiap 12-24 jam.
Hb & Ht setiap hari.
Gula darah setiap 4 jam.
Parameter lain sesuai indikasi ( misal : ureum, creatinin & kalium darah pada komplikasi gagal ginjal ).
Pemeriksaan derajat kesadaran (modifikasi Glasgow coma score)
Obat-obat berikut dahulu pernah dipakai untuk pengobatan malaria serebral tetapi menurut WHO sekarang tidak boleh dipakai karena berbahaya, yaitu :
? Dexamethason dan Kotikosteroid lainnya
? Obat anti inflamasi yang lain
? Anti udem serebral (urea, manitol)
? Dextran berat molekul rendah
? Epinephrine (adrenalin)
? Heparin.
Penatalaksanaan pasien koma
Selalu memakai prinsip ABC ( A=Airway, B=Breathing, C=Circulation) + D=Drug [defibrilasi].
Airway ( jalan nafas ) :
Jaga jalan nafas agar selalu bersih/tanpa hambatan, dengan cara :
Bersihkan jalan nafas dari saliva, muntahan, dll
Pasien posisi lateral
Tempat tidur datar/tanpa bantal.
Mencegah aspirasi cairan lambung masuk ke saluran pernafasan, dengan jalan : posisi lateral dan pemasangan NGT untuk menyedot isi lambung.
Breathing (pernafasan) :
Bila takipnoe, pernafasan asidosis : berikan penunjang ventilasi , misal : O2, dan rujuk ke ICU.
Circulation (kardiovaskular) :
Periksa dan catat : Nadi, tensi, JVP, CVP (bila memungkinkan), turgor kulit, dll.
Jaga keseimbangan cairan : lakukan monitoring balans cairan dengan mencatat intake dan output cairan secara akurat.
Pemasangan kateter urethra dengan drainage/bag tertutup untuk mengukur volume urin. Bila fungsi ginjal baik, adanya dehidrasi atau overhidrasi dapat juga diketahui dari volume urin. Normal volume urin : 1 ml/menit [1 ml/kg BB/jam]. Bila volume urin < 30 ml/jam, mungkin terjadi dehidrasi (periksa juga tanda-tanda lain dehirasi), maka tambahkan intake cairan melalui IV-line. Bila volume urin > 90 ml/jam, kurangi intake cairan untuk mencegah overload yang mengakibatkan udem paru.
2. Anemia berat ( Hb < 5 gr % )
Bila Ht < 15 % atau Hb < 5 g %, tindakan :
Berikan transfusi darah 10 ? 20 ml/kgBB [rumus: tiap 4 ml/kg BB darah akan menaikkan Hb 1 g%] paling baik darah segar atau PRC, dengan memonitor kemungkinan terjadinya overload karena pemberian transfusi darah dapat memperberat kerja jantung. Untuk mencegah overload, dapat diberikan furosemide 20 mg IV. Pasien dengan gagal ginjal hanya diberikan PRC. Volume transfusi dimasukkan sebagai input dalam catatan balans cairan.
3. Hypoglikemia (Gula darah < 40 mg %)
Sering terjadi pada penderita malaria berat terutama anak usia < 3 tahun, ibu hamil sebelum atau sesudah pemberian terapi kina (kina menyebabkan hiperinsulinemia), maupun penderita malaria berat lain dengan terapi kina. Penyebab lain diduga karena terjadi peningkatan uptake glukosa oleh parasit malaria.
Tindakan :
a. Berikan 10 ? 100 ml Glukosa 40 % IV secara injeksi bolus (anak-anak : 1 ml/Kg BB)
b. Infus glukosa 5 % atau 10 % perlahan-lahan untuk mencegah hipoglikemia berulang.
c. Monitoring teratur kadar gula darah setiap 4-6 jam.
Bila sarana pemeriksaan gula darah tidak tersedia, pengobatan sebaiknya diberikan berdasarkan kecurigaan klinis adanya hipoglikemia.
4. Kolaps sirkulasi, syok hipovolume, hipotensi, ?Algid malaria? dan septikaemia
Sering terlihat pada pasien-pasien dengan :
Dehidrasi dengan hipovolemia (akibat muntah-muntah dan intake cairan kurang)
Pasien dengan diare dan peripheral circulatory failure (algid malaria)
Perdarahan masif GI tract
Mengikuti ruptur limpa
Dengan komplikasi septikaemia gram negative
Kolaps sirkulasi lebih lanjut berakibat komplikasi asidosis metabolik, respiratory distress dan gangguan fungsi / kerusakan jaringan.
Gejala : hipotensi dengan tekanan sistolik < 70 mm Hg pada orang dewasa dan < 50 mm Hg pada anak-anak, konstriksi vena perifer.
Gejala khas : kulit dingin, suhu 38-40 oC, mata cekung, cianosis pada bibir dan kuku, nafas cepat, nadi cepat dan dangkal, nyeri ulu hati, dapat disertai mual/muntah, diare berat.
Tindakan :
Koreksi hipovolemia dengan pemberian cairan yang tepat (NaCL 0,9 %, ringer laktat, dextrose 5 % in saline), plasma expander (darah segar, plasma, haemacell atau bila tidak tersedia dengan dextran 70) dalam waktu 1/2 - 1 jam pertama 500 ml, bila tidak ada perbaikan tensi dan tidak ada overhidrasi, beri 1000 ml, tetes diperlambat dan diulang bila dianggap perlu.
Bila memungkinkan, monitor dengan CVP ( tekanan dipelihara antara 0 s/d +5 cm)
Bila terjadi hipovolemia menetap, diberikan Dopamin dengan dosis inisial 2 ug/Kg/menit yang dilarutkan dalam dextrose 5 %. [pada hipovolemia kontra indikasi untuk pemberian inotropik karena tidak akan menaikkan TD malah menimbulkan takikardi yang justru akan merugikan. Bila hipovolemia sudah teratasi tapi TD belum naik, kemungkinan kontraktilitas miokard yang jelek ? diperbaiki dengan pemberian Dobutamin, bukan Dopamin, dengan dosis sampai 20 µg/kg BB/m] dosis dinaikkan secara hati-hati sampai tekanan sistolik mencapai 80-90 mm Hg.
Periksa kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkinan hipoglokemia.
Buat kultur darah dan resistensi test. Mulai segera pemberian antibiotik broad spektrum, misal : generasi ketiga sefalosporin bila tersedia, yang dapat dikombinasi dengan aminoglikosida bila fungsi renal sudah dipastikan baik (periksa juga ureum & kreatinin darah)
Apabila CVP tidak mungkin dilakukan, monitoring dan pencatatan balas cairan secara akurat sangat membantu agar tidak terjadi overhidrasi.
Pada Anak-anak :
Lakukan Rehidrasi (Pemberian cairan infus), larutan dektrosa 5 % atau 10 % atau NaCL 0,9 %, Dosis 1 jam pertama, 30 ml/kgBB atau 10 x kgBB per tetes/menit. Misalnya : anak dengan BB 10 kg = 10 x 10 tetes/menit, dilanjutkan 20 ml/kgBB (23Jam sisa), atau 7 tetes x kgBB/menit, dilanjutkan pemberian maintenace 10 ml/kgBB/hari atau 3 tetes/kgBB/menit
Awasi nadi, tensi dan pernafasan setiap 30 menit.
5. Gagal ginjal akut (acute renal failure / ARF )
Terjadi sebagai akibat hipovolemia atau ischemik sehingga terjadi gangguan mikrosirkulasi ginjal yang menurunkan filtrasi glomerulus. Paling sering terjadi gagal ginjal pre-renal akibat dehidrasi diatas (>50 %), sedangkan gagal ginjal renal akibat tubuler nekrosis akut hanya terjadi pada 5-10 % penderita. Namun ARF sering terdeteksi terlambat setelah pasien sudah mengalami overload (dekompensasi kordis) akibat rehidrasi yang berlebihan (overhidrasi) pada penderita dengan oliguria/anuria, dan karena tidak tercatatnya balans cairan secara akurat.
Pada pasien severe falciparum malaria, bila memungkinkan sebaiknya kadar serum kreatinin diperiksa 2-3 x/minggu.
Bila terjadi oliguria (volume urin < 400 ml/24 jam atau < 20 ml/jam pada dewasa atau < 0,5 ml/Kg BB/jam pada anak-anak setelah diobservasi/diukur selama 4-6 jam) disertai tanda klinik dehidrasi maka berikan cairan untuk rehidrasi dengan terus berhati-hati/ mengawasi apakah ada tanda-tanda overload.
Untuk itu awasi semua tanda-tanda vital, monitoring balans cairan, pemeriksaan auskultasi paru, jugular venous pressure (JVP) dan central venous pressure (CVP) bila tersedia dan observasi volume urin.
Bila terjadi anuria. Berikan diuretik : Furosemid inisial 40 mg IV, observasi urin output. Bila tidak ada respon, dosis furosemid ditingkatkan progresif sampai maksimum 200 mg [dosis furosemid: 10-30 mg/jam] dengan interval 30 menit. Bila masih tidak respon (urin output ( - ) atau < 120 ml/2jam) periksa kadar ureum & kreatinin serum karena mungkin telah terjadi ARF.
Persiapkan penderita untuk dialisis atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis bila terjadi ARF. ARF biasanya reversibel apabila ditanggulangi secara cepat dan tepat.
ARF yang disertai tanda-tanda overload (dekompensasi jantung) sangat berbahaya bila tidak ditanggulangi secara cepat.
Tanda-tanda overload dari ringan sampai berat berupa : batuk-batuk, tensi meningkat/sedikit meningkat, nadi cepat, auskultasi paru ada ronki basah di basal bilateral paru, auskultasi jantung mungkin terdengar bunyi jantung tambahan (bunyi ke 3) dan JVP meningkat, serta pasien terlihat agak sesak sampai sesak nafas berat.
Bila ada tanda-tanda overload, segera hentikan pemberian cairan.
Rencanakan dialisis dengan ultrafiltrasi atau peritoneal dialisis, atau rujuk ke RS dengan fasilitas dialisis.
Periksa juga kadar elektrolit darah dan EKG bila tersedia untuk mencari terjadinya hiperkalemia, asidosis metabolik serta gangguan keseimbangan asam-basa.
Catatan :
Normal kadar ureum darah : 20 - 40 mg/dl, kreatinin N : 0,8 ? 1,1 mg/dl.
Indikasi dialisis :
Klinik :
Tanda-tanda uremik
Tanda-tanda volume overload
Pericardial friction rub
Pernafasan asidosis setelah rehidrasi
Indikasi laboratorium :
Hiperkalemia (K > 6,5 mEq/L, hiperkalemia dapat juga didiagnosis melalui EKG)
Peningkatan ureum dengan uremic syndrome.
6. Perdarahan & gangguan pembekuan darah (coagulopathy)
Perdarahan dan koagulopathi jarang ditemukan di daerah endemis pada negara-negara tropis. Sering terjadi pada penderita yang non-imun terhadap malaria. Biasanya terjadi akibat trombositopenia berat ditandai manifestasi perdarahan pada kulit berupa petekie, purpura, hematom atau perdarahan pada hidung, gusi dan saluran pencernaan.
Gangguan koagulasi intra vaskuler jarang terjadi.
Tindakan :
Beri vitamin K injeksi dengan dosis 10 mg intravena bila protrombin time atau partial tromboplastin time memanjang.
Periksa Hb : bila < 5 gr% direncanakan transfusi darah, 10 ? 20 ml /kgBB
Hindarkan pemberian korttikosteroid untuk trombositopenia.
Perbaiki keadaan gizi penderita.
7. Edema paru
Edem paru sering timbul belakangan dibanding komplikasi akut lainnya.
Edema paru terjadi akibat :
ARDS (Adult respiratory distress syndrome) [tanda-tanda ARDS: timbul akut, ada gambaran bercak putih pada foto toraks di kedua paru, rasio PaO2:FiO2 < 200, tidak ada gejala gagal jantung kiri]
Over hidrasi akibat pemberian cairan.
ARDS terjadi secara tidak langsung karena peningkatan permeabilitas kapiler di paru.
ARDS dan overload cairan, keduanya dapat terjadi sendiri-sendiri atau bersamaan.
Bentuk klinik ARDS : - Takipnoe (nafas cepat) pada fase awal
- Pernafasan dalam
- Sputum : ada darah dan berbusa.
- X-ray : ada bayangan pada kedua sisi paru dan hipoksaemia.
Perbedaan ARDS dengan fluid overload :
ARDS Fluid overload
Balans cairan Normal Input > output
CVP Normal Meninggi
Tekanan A. Pulmonal Normal Meninggi
JVP Normal Meninggi
Tindakan :
Bila ada tanda udema paru akut penderita segera dirujuk, dan sebelumnya dilakukan tindakan sebagai berikut :
1. Akibat ARDS
a. Pemberian oksigen
b. PEEP (positive end-respiratory pressure) bila tersedia.
2. Akibat over hidrasi :
- Pembatasan pemberian cairan
- Pemberian furosemid 40 mg i.v bila perlu diulang 1 jam kemudian atau dosis ditingkatkan sampai 200 mg (maksimum) sambil memonitor urin output dan tanda-tanda vital.
- Rujuk segera bila overload tidak dapat diatasi.
- Untuk kondisi mendesak (pasien kritis) dimana pernafasan sangat sesak, dan tidak cukup waktu untuk merujuk pasien, lakukan :
? Posisi pasien ½ duduk.
? Venaseksi, keluarkan darah pasien kedalam kantong transfusi/donor sebanyak 250-500 ml akan sangat membantu mengurangi sesaknya. Apabila kondisi pasien sudah normal, darah tersebut dapat dikembalikan ketubuh pasien.
8. Jaundice ( bilirubin > 3 mg%)
Manifestasi ikterus pada malaria berat sering dijumpai di Asia dan Indonesia yang mempunyai prognosis jelek.
Tindakan :
1. Tidak ada terapi khusus untuk jaundice. Bila ditemukan hemolisis berat dan Hb sangat menurun maka beri transfusi darah.
2. Bila fasilitas tidak memadai penderita sebaiknya segera di rujuk.
9. Asidosis metabolik
Asidosis dalam malaria dihasilkan dari banyak proses yang berbeda, termasuk diantaranya : obstruksi mikrosirkulasi, disfungsi renal, peningkatan glikolisis, anemia, hipoksia, dan lain-lain. Oleh karena itu asidosis metabolik sering ditemukan bersamaan dengan komplikasi lain seperti : anemia berat, ARF, hipovolemia, udem paru dan hiperparasitemia yang ditandai dengan peningkatan respirasi (cepat dan dalam), penurunan PH dan bikarbonat darah. Penyebabnya karena hipoksia jaringan dan glikolisis anaerobik. Diagnosis dan manajemen yang terlambat akan mengakibatkan kematian.
Tindakan :
a. Lakukan pemeriksaan kadar Hb. Bila penyebabnya karena anemia berat (Hb < 5 g%), maka beri transfusi darah segar atau PRC.
b. Lakukan pemeriksaan analisa gas darah, bila pH < 7,15 lakukan koreksi dengan pemberian larutan natrium bikarbonat [hati-hati koreksi dengan bicarbonat dapat meningkatkan PaCO2] melalui IV-line (walau sebenarnya pemberian natrium bikarbonat masih kontroversial). Koreksi pH arterial harus dilakukan perlahan 1-2 jam
c. Bila sesak nafas, beri O2.
d. Bila tidak tersedia fasilitas yang memadai sebaiknya penderita segera di rujuk
10. Blackwater fever (malarial haemoglobinuria)
Pasien dengan defisiensi G-6-PD dapat terjadi hemolisis intravascular dan hemoglobinuria yang dipresipitasi oleh primakuin dan obat-obat oksidan yang dipakai sebelum terkena malaria. Hemoglobinuria dihasilkan dari masifnya hemolisis. Tidak berhubungan dengan disfungsi renal secara signifikan. Blackwater biasanya sementara dan dapat berubah tanpa komplikasi. Namun dapat juga menjadi gagal ginjal akut dalam kasus-kasus yang berat.
Tindakan :
? Berikan cairan rehidrasi, monitor CVP.
? Bila Ht < 20 %, beri transfusi darah
? Lanjutkan pemberian kemoterapi anti malaria.
? Bila berkembang menjadi ARF, rujuk ke rumah sakit dengan fasilitas hemodialisis.
11. Hiperparasitemia.
Umumnya pada penderita yang non-imun, densitas parasit > 5 % dan adanya skizontaemia sering berhubungan dengan malaria berat. Tetapi di daerah endemik tinggi, sebagian anak-anak imun dapat mentoleransi densitas parasit tinggi (20-30 %) sering tanpa gejala.
Penderita dengan parasitemia tinggi akan meningkatkan resiko terjadinya komplikasi berat.
Tindakan :
1. Segera berikan kemoterapi anti malaria inisial.
2. Awasi respon pengobatan dengan memeriksa ulang parasitemianya.
3. Indikasi transfusi tukar (Exchange Blood Transfusion/EBT) adalah :
? Parasitemia > 30 % tanpa komplikasi berat
? Parasitemia > 10 % disertai komplikasi berat lainnya seperti : serebral malaria, ARF, ARDS, jaundice dan anemia berat.
? Parasitemia > 10 % dengan gagal pengobatan setelah 12-24 jam pemberian kemoterapi anti malaria yang optimal.
? Parasitemia > 10 % disertai prognosis buruk (misal : lanjut usia, adanya late stage parasites/skizon pada darah perifer)
4. Pastikan darah transfusi bebas infeksi (malaria, HIV, Hepatitis)
V. PENGOBATAN PENCEGAHAN (KEMOPROFILAKSIS)
Obat yang dipakai untuk tujuan ini pada umumnya bekerja terutama pada tingkat eritrositer, hanya sedikit yang berefek pada tingkat eksoeritrositer (hati). Obat harus digunakan terus-menerus mulai minimal 1 ? 2 minggu sebelum berangkat sampai 4 ? 6 minggu setelah keluar dari daerah endemis malaria.
OAM yang dipakai dalam kebijakan pengobatan di Indonesia adalah :
Klorokuin : banyak digunakan karena murah, tersedia secara luas, dan relatif aman untuk anak-anak, ibu hamil maupun ibu menyusui. Pada dosis pencegahan obat ini aman digunakan untuk jangka waktu 2-3 tahun. Efek samping : gangguan GI Tract seperti mual, muntah, sakit perut dan diare. Efek samping ini dapat dikurangi dengan meminum obat sesudah makan.
Pencegahan pada anak :
OAM yang paling aman untuk anak kecil adalah klorokuin. Dosis : 5 mg/KgBB/minggu. Dalam bentuk sediaan tablet rasanya pahit sehingga sebaiknya dicampur dengan makanan atau minuman, dapat juga dipilih yang berbentuk suspensi.
Untuk mencegah gigitan nyamuk sebaiknya memakai kelambu pada waktu tidur.
Obat pengusir nyamuk bentuk repellant yang mengandung DEET sebaiknya tidak digunakan untuk anak berumur < 2 tahun.
Pencegahan perorangan
Dipakai oleh masing-masing individu yang memerlukan pencegahan terhadap penyakit malaria. Obat yang dipakai : Klorokuin.
Cara pengobatannya :
- Bagi pendatang sementara :
Klorokuin diminum 1 minggu sebelum tiba di daerah malaria, selama berada di daerah malaria dan dilanjutkan selama 4 minggu setelah meninggalkan daerah malaria.
- Bagi penduduk setempat dan pendatang yang akan menetap :
Pemakaian klorokuin seminggu sekali sampai lebih dari 6 tahun dapat dilakukan tanpa efek samping. Bila transmisi di daerah tersebut hebat sekali atau selama musim penularan, obat diminum 2 kali seminggu. Penggunaan 2 kali seminggu dianjurkan hanya untuk 3 ? 6 bulan saja.
Dosis pengobatan pencegahan : Klorokuin 5 mg/KgBB atau 2 tablet untuk dewasa.
Lihat tabel berikut :
Golongan umur (tahun) Jumlah tablet klorokuin (dosis tunggal)
( frekuensi 1 x seminggu )
0 ? 1 ¼
1 ? 4 ½
5 ? 9 1
10 ? 14 1 ½
> 15 2
Pencegahan kelompok
Ditujukan pada sekelompok penduduk, khususnya pendatang non-imun yang sedang berada di daerah endemis malaria. Pencegahan kelompok memerlukan pengawasan yang lebih baik. Obat diberikan melalui unit pelayanan kesehatan, pos-pos pengobatan malaria yang dibentuk sendiri oleh penduduk di wilayah tersebut, atau melalui pos obat desa (POD) yang di dalmnya menyediakan obat-obatan lain selain obat anti malaria.
Dosis dan cara pengobatan sama seperti pengobatan pencegahan perorangan.
VI. PROGNOSIS
1. Prognosis malaria berat tergantung kecepatan diagnosa dan ketepatan & kecepatan pengobatan.
2. Pada malaria berat yang tidak ditanggulangi, maka mortalitas yang dilaporkan pada anak-anak 15 %, dewasa 20 %, dan pada kehamilan meningkat sampai 50 %.
3. Prognosis malaria berat dengan kegagalan satu fungsi organ lebih baik daripada kegagalan 2 fungsi organ
? Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ, adalah > 50 %
? Mortalitas dengan kegagalan 4 atau lebih fungsi organ, adalah > 75 %
? Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan klinis malaria berat yaitu:
? Kepadatan parasit < 100.000, maka mortalitas < 1 %
? Kepadatan parasit > 100.000, maka mortalitas > 1 %
? Kepadatan parasit > 500.000, maka mortalitas > 50 %
VI. RUJUKAN PENDERITA
Semua penderita malaria berat dirujuk / ditangani RS Kabupaten.
Apabila penderita tidak bersedia dirujuk dapat dirawat di puskesmas rawat inap dengan
konsultasi kepada dokter RS Kabupaten.
Bila perlu RS kabupaten dapat pula merujuk kepada RS Propinsi.
Cara merujuk :
1) Setiap merujuk penderita harus disertakan surat rujukan yang berisi tentang diagnosa, riwayat penyakit, pemeriksaan yang telah dilakukan dan tindakan yang sudah diberikan.
2) Apabila dibuat preparat SD malaria, harus diikutsertakan.
Kriteria penderita malaria yang dirawat inap :
Bila salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini :
1. Malaria dengan komplikasi
2. Malaria congenital pada bayi
3. Hiperparasitemia. (Parasitemia > 5 %)
Karakteristik Dan Tindakan Wanita PSK Tentang HIV Dan AIDS
Di dunia sejak pertama kali ditemukan HIV dan AIDS tahun 1978 dengan diketahui jalur transmisi penyakit pada awalnya melaui jalur seksual. Berdasarkan data tahun 2006 dari WHO, penduduk dunia yang terinfeksi HIV dan AIDS mencapai 40 juta jiwa, Di Indonesia dilaporkan pada akhir tahun 2007 terdapat 11.141 pasien AIDS dan 6.066 orang HIV positif, hingga maret 2008, kasus AIDS sudah mencapai 11.868 yang terjadi di 32 propinsi dan 194 kabupaten kota. Tahun 2007, Propinsi Maluku terdapat 516 kasus HIV dan AIDS,1 kasus diantaranya pada wanita PSK di Desa Bula Kabupaten Seram .
Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui karakteristik dan tindakan wanita PSK tentang HIV dan AIDS di Desa Bula Kabupaten Seram Bagian Timur tahun 2009, yang mencangkup; umur, pendidikan pengetahuan, frekuensi melakukan hubungan seksual perminggu, lama kerja sebagai PSK, daerah praktek PSK sebelumnya dan tindakan penggunaan kondom pada wanita PSK. Jenis penelitian yang digunakan survai epidemiologi dengan desain deskriptif yang menggunakan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data dilakukan dengan program SPSS dan Excel.
Hasil penelitian terlihat bahwa wanita PSK dengan umur 22 –27 tahun (53%), status janda (68.7%), dengan tingkat pendidikan SLTP (66.3%), dengan pengetahuan cukup tentang HIV dan AIDS (71.1%), frekuensi hubungan seks 3 kali seminggu (50.6%), lama masa kerja 1-3 tahun yaitu 78.3% dan 88.6% adalah pada umur 22-27 tahun, secara umum daerah praktek PSK terakhir/sebelumnya adalah daerah dengan tingkat prevalensi HIV dan AIDS yang tinggi, namun yang terbanyak adalah wanita PSK dengan daerah praktek terakhir Ambon yaitu 71 orang (85.5%), wanita PSK yang tidak menggunakan kondom sebanyak (88.0%) dan umur 22-27 tahun (90.9%) tidak menggunakan kondom/melakukan tindakan berisiko tertular HIV dan AIDS.
Bagi Pemerintah Daerah sebaiknya dapat membatasi berdirinya lokalisasi dan mereduksi masuknya wanita PSK di Desa Bula, karena akan berdampak pada penyebaran HIV dan AIDS di Desa Bula Kecamatan Bula Kabupaten seram Bagian Timur Propinsi Maluku
fitria Wakano,SKM (jur.epid FKM Unhas)
STUDY TOUR HIMAPID 2009
...divisi hubungan masyarakat HIMAPID mengadakan program kerja untuk suatu kegiatan “ STUDY TOUR atau STUDY BANDING” ke Beberapa universitas yang memiliki Fakultas/prodi Ilmu Epidemiologi (Kesehatan Masyarakat) di daerah jawa serta dalam rangka kunjungan Ke Departemen KesehataN RI dan kunjungan ke Sekretariat Jaringan EpidemioLogi.
Tujuan di adakan untuk meningkatkan profesionalisme sebagai calon Tenaga Epidemiolog Demi peningkatan kesehatan masyarakat Indonesia. selain itu...
1. Berbagi pengalaman belajar antar mahasiswa kesehatan masyarakat antar Universitas
2. Mengetahui masalah – masalah kesehatan yang berkembang saat ini
3. Mengetahui gambaran baru terhadap perkembangan Tenaga Epidemiologi di Indonesia
4. Menjalin Hubungan dengan Jaringan Epidemiologi Nasional
5. Mempererat tali persaudaraan antar mahasiswa Jurusan Epidemiologi.
Dengan Tema dalam kegiatan ini, yaitu :
“ Meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme untuk mengaktulisasikan peran mahasiswa epidemiologi dalam menjawab masalah – masalah kesehatan untuk indonesia sehat “
insya aLLah diadakan pada tanggaL :
29 November s/d 5 Desember 2009
di pandu cakrawaLa traveL...
adapun budget yang harus di kocek,,, gak dalam2 ji...
sebesar Rp. 2.150.000,- (Dua juta seratus lima puluh ribu rupiah)..
dengan fasilitas-fasilitas :
1. Pesawat PP (Surabaya-Makassar-Surabaya)
2. Penginapan HoteL
3. Konsumsi
4. Free Kunjungan ke tempat wisata
5. Kunjungan Ke Universitas
6. Kunjungan Ke DEPKES RI
7. Baju Kaos
8. Pin+Id Card
Yang maw daftar buruan!!! Karena terbatas hanya 55 Peserta pendaftaran pertama...
deadLine pendaftaran tgL 10 November 2009*
PERSALINAN PREMATUR
Persalinan prematur adalah salah satu persalinan yang tidak normal dari segi umur kehamilan, yaitu persalinan yang terjadi pada umur kandungan kurang dari normal (kurang dari 37 minggu atau 259 hari). Prematur merupakan masalah besar karena dengan berat badan janin yang kurang dan belum cukup umur maka alat-alat vital belum sempurna sehingga mengalami kesulitan untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
Persalinan prematur merupakan sebab kematian neonatal yang terpenting. Hal tersebut dapat terjadi melihat kejadiannya yang kurang lebih 70 % dari semua kelahiran hidup. Diduga adanya pengaruh dari ekonomi karena persalinan prematuri lebih sering terjadi pada golongan dengan penghasilan rendah. Persalinan preterm atau prematur masih merupakan masalah penting dalam obstetri khususnya di bidang perinatologi, karena baik di negara berkembang maupun negara maju penyebab morbiditas dan mortalitas neonatus terbanyak adalah bayi yang lahir preterm. Kira-kira 75% kematian neonatus berasal dari bayi yang lahir preterm atau prematur (Nuada, 2004).
Menurut data dunia, kelahiran premature mencapai 75-80 % dari seluruh bayi yang meninggal pada usia kurang dari 28 hari. Data dari WHO (2002) menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan terhadap kematian bayi yang dikenal dengan fenomena 2/3. Pertama, fenomena 2/3 kematian bayi pada usia 0-1 tahunan terjadi pada masa neonatal (bayi berumur 0-28 hari). Kedua, 2/3 kematian bayi pada masa neonatal dan terjadi pada hari pertama.
Dewasa ini Indonesia memiliki angka kejadian prematur sekitar 19% dan merupakan penyebab utama kematian perinatal. Kelahiran prematur juga bertanggung jawab langsung terhadap 75 -79 kematian neonatal yang tidak disebabkan oleh kongenital letal. Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 71/1000 kelahiran hidup.
Tahun 1995 turun menjadi 51/1000 kelahiran hidup. Dan tahun 1997 menjadi 41,44/1000 kelahiran hidup, sedangkan AKP di Indonesia adalah sekitar 560/100.000 kelahiran hidup (Amiruddin, 2006).
Jika diperkirakan kelahiran di Indonesia sebesar 5.000.000 orang per tahun, maka dapat diperhitungkan kematian bayi 56/1000, menjadi sekitar 280.000 per tahun yang artinya sekitar 2,2-2,6 menit bayi meninggal. Sebab-sebab kematian tersebut antara lain asfiksia (49-60%), infeksi (24-34%), BBLR (15-20%), trauma persalinan (2-7%), dan cacat bawaan (1-3%) (Manuaba, 2001).
Kejadian persalinan prematur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian yang dilakukan oleh Djaja dkk (2003) menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian pada bayi neonatal dini (0-7 hari) lebih banyak oleh masalah prematuritas dan berat badan lahir rendah (35%) serta asfiksia lahir (33,6%).
Keterpaparan asap rokok serta penggunaan bahan bakar biomassa (kayu bakar) secara tidak langsung mengakibatkan pencemaran udara di rumah tangga juga mempengaruhi terjadinya kelahiran prematur, terutama pada keterpaparan asap rokok. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Amiruddin (2006) menunjukkan bahwa ibu – ibu yang terpapar rokok baik ibu sendiri yang merokok maupun terpapar oleh orang lain selama mengandung memiliki kemungkinan 2,313 kali lebih besar mengalami persalinan prematur bila dibandingkan dengan ibu – ibu yang pada saat mengandung tidak terpapar rokok.
Penelitian yang dilakukan oleh Sarbaini dkk pada tahun 2004 menyatakan kemungkinan ibu dengan anemia dalam kehamilan yang mengalami persalinan prematur 3 kali lebih besar daripada ibu yang tidak anemia, persalinan prematur pada ibu dengan riwayat persalinan premature sebelumnya adalah 20,33 kali lebih besar daripada ibu tanpa riwayat persalinan premature sebelumnya, dan persalinan prematur pada kelompok umur ibu yang berisiko adalah 2,259 lebih besar daripada kelompok umur yang tidak berisiko.
Perbaikan kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak perlu dilaksanakan berdasarkan kebijakan yang jelas dan anggaran yang cukup. Dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kesempatan anak Indonesia untuk hidup sehat, tumbuh, dan berkembang secara optimal menjadi semakin terbuka. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, dan spiritual .
Di Indonesia, program kesehatan bayi baru lahir tercakup di dalam program kesehatan ibu. Dalam rencana strategis nasional Making Pregnancy Safer, target dari dampak kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2001).
Shinta Kurniasih, SKM (Epidemiologi, FKM Unhas)
TIPS MENCEGAH FLU
Memasuki musim pancaroba seringkali terjadi perubahan cuaca yang sangat ekstrim. Pagi hari matahari bersinar sangat cerah, sehingga udara siang terasa sangat panas dan membuat kita merasa gerah, namun di sore hari langit berubah menjadi kelihatan mendung dan hujan pun turun dengan derasnya.
Perubahan cuaca yang tiba-tiba dapat membuat daya tahan tubuh kita menurun dan mennjadi sangat rentan terhadap penyakit. Jika daya tahan tubuhkita sudah menurun, virus yang menyebabkan penyakit batuk, pilek, dan sakit perut seperti diare akan mudah menghampiri dan mulai menyerang kita.
Biasanya dalam kondisi yang demikian, antibiotik menjadi andalan untuk mengatasi gangguan penyakit-penyakit tersebut. Padahal sebenarnya tubuh kita telah memiliki mekanisme sistem kekebalan yang digunakan untuk menangkal faktor atau zat yang berasal dari luar tubuh uang dapat membahayakan kesehatan kita.
Karena kekebalan tubuh bersifat dinamis, dan virus dapat bermutasi, maka kita harus mempunyai gaya hidup yang sehat untu dapat memperkuat pertahanan tubuh kita. Apalagi saat ini banyak bermunculan penyakit-penyakit baru yang berbahaya, seperti virus flu burung.
Flu merupakan penyakit yang di akibatkan oleh infeksi virus, sehingga menyebab- kan peradangan pada pada sistem pernafasan kita. Selama ini, Vitamin C bukan hanya dikenal sebagai primadonanya vitamin, tetapi banyak orang menggunakannya sebagai penangkal flu dan mengobati sariawan.
Berdasarkan penelitian Dr. Linus Pauling diketahui bahwa Vitamin C memiliki kemampu-an untuk menghambat partikel virus agar tidak menyebar melalui sel dan jaringan tubuh, selain itu Vitamin C juga mengurangi kekampuan molekul oksigen sampai menjadi radikal bebas dan kemudian menghancurkan asam nukleus virus.
Apabila kita melihat manfaat yang bisa kita peroleh dari Vitamin , rasanya tidak salah jika kita mulai membiasakan diri untuk memenuhi kebutuhan akan vitamin C dalam tubuh kita dengan gaya hidup sehat dan selalu mengkonsomsi buah dan sayur yang banyak mengandung vitamin C, seperti Jambu Batu/Jambu Kelutuk, Jeruk, Apel, Kapri, daun pepaya dan lain sebaginya.
Tips mencegah Flu :
- Biasakan untuk mencuci tangan dengan sabun
- Minum banyak air putih, minimal 8 gelas sehari
- Usahakan menghindari orang lain yang terkena flu
- Jaga selalu daya tahan tubuh dengan cukup istirahat, makan makanan yang bergizi, olahraga teratur dan selalu penuhi kebutuhan vitamin C.
sumber : dechacare.com
Strategi Dasar Pemberantasan Penyakit Menular
Seseorang dapat menderita sakit, terutama menderita penyakit menular, karena dimulai adanya agen penyakit (kuman) yang masuk dalam tubuh orang tersebut, keadaan ini disebut sebagai terpapar dan terinfeksi. Didalam tubuh kuman berkembang biak, merusak jaringan, atau menebarkan racun, sehingga pada jumlah kuman yang memadai akan menimbulkan gejala penyakit, keadaan ini disebut menderita sakit. Proses dari keadaan sehat menjadi sakit, karena masuknya agen penyakit kedalam badan, dapat terhambat perkembang biakannya karena adanya imunitas dan daya tahan tubuh orang-orang yang terserang agen penyakit tersebut. Para klinisi akan memahami betul proses terjadinya seseorang yang sehat kemudian menjadi sakit, sekaligus memahami betul agar seseorang yang telah menunjukkan gejala sakit dapat disembuhkan dengan serangkaian kegiatan pengobatan.
Bagi para epidemiologi akan lebih menggali pemahaman mengapa orang yang sehat dapat terpapar suatu agen penyakit yang berasal dari orang sakit, proses ini pada penyakit menular disebut sebagai “tertular”. Penularan dapat terjadi secara langsung dari orang yang menderita sakit kepada orang sehat tanpa perantara lain, misalnya penularan tuberkulosa paru, penyakit menular seksual, campak, inluenza dan sebagainya. Penularan dapat juga terjadi karena agen penyakit yang berasal dari seorang penderita, disebarkan ke lingkungan sekitanya, misalnya agen penyakit keluar dari tubuh orang sakit bersamaan dengan tinja penderita dan menyebar ke tanah, udara atau air, yang kemudian mencemari makanan dan minuman orang sehat. Penularan dapat juga terjadi karena agen penyakit menular pada pembawa penyakit (vektor), kemudian vektor memindahkan agen penyakit kepada orang sehat lainnya, misalnya penularan malaria, demam berdarah, chikungunya melalui vektor nyamuk.
Dengan mencermati proses penularan dan kemampuan tubuh menghadapi penularan agen tersebut, maka dapat diidentifikasi sasaran upaya pemberantasan penyakit menular. Upaya pemberantasan dengan menerapkan manajemen kasus dan manajemen kesehatan masyarakat (public health).
Manajemen kasus dapat diterapkan pada penderita agar dapat cepat sembuh, mencegah kecacatan atau kematian. Manajemen kasus dapat diterapkan pada seseorang yang diperkirakan telah terpapar atau terinfeksi suatu agen penyakit yang belum menunjukkan gejala penyakit agar tetap sehat, baik dengan obat profilaksis, pemberian serum anti penyakit, perbaikan gizi dan sebagainya. Misalnya, pada infeksi malaria dengan pemberian obat anti malaria, karier difteri mendapat antibiotika, terinfeksi HIV dengan menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Pada penderita pnemonia, manajemen kasus menjadi strategi dasar penanggulangan yang paling tepat pada pengungsi, baik dengan cara pengobatan, maupun dengan perbaikan gizi terhadap penderita maupun terhadap anak-anak yang sehat agar tidak terserang pnemonia.
Manajemen kesehatan masyarakat dimanfaatkan untuk menekan kemungkinan terjadinya penularan dan penyebarluasan penyakit ke orang lain, sehingga angka kesakitan (insidance rate) dan angka kematian (mortality rate) dapat diturunkan. Manajemen kesehatan masyarakat lebih menekankan pada upaya pencegahan penularan dengan cara memutus mata rantai penularan. Cara pertama adalah dengan melakukan manajemen kasus, baik pengobatan maupun profilaksis. Cara ini dapat secepatnya membersihkan tubuh penderita dari agen penyakit, sehingga penderita atau karier tidak lagi menjadi sumber penularan. Cara kedua, memutus kemungkinan penularan agen penyakit dari penderita ke orang sehat dengan cara isolasi. Misalnya penderita istirahat di rumah dan tidak usah tidak masuk sekolah atau kerja selama sakit, terutama penderita yang penularannya ke orang lain melalui penularan langsung udara, misalnya campak, influenza, difteri dan sebagainya. Penyakit dengan penularan melalaui nyamuk, seperti demam dengue, malaria sebaiknya juga beristirahat di rumah selama periode penularan. Cara ketiga, meningkatkan daya tahan setiap orang dengan cara perbaikan status gizi, sehingga tubuh mampu menahan serangan agen penyakit, atau memproduksi antibodi dengan cepat. Upaya peningkatan daya tahan tubuh dapat dilakukan dengan meningkatkan imunitas secara aktif melalui pemberian imunisasi, misalnya imunisasi campak, difteri, batuk rejan dan sebagainya. Cara keempat, dengan melakukan perbaikan kondisi lingkungan agar tidak rentan menjadi sumber penularan penyakit. Cara yang ditempuh adalah dengan manajemen vektor, seperti pemberantasan sarang nyamuk pada demam dengue dan malaria, manajemen sanitasi lingkungan dan makanan dalam pemberantasan penyakit-penyakit perut, diare, tifus perut dan sebagainya. Cara lain adalah dengan manajemen perilaku sehat. (idn)
Sumber : Modul Manajemen penanggulangan wabah di tempat pengungsian
Seputar Sectio Caesar
Sectio caesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Ada tiga teknik sectio caesar, yaitu transperitonealis, corporal (klasik), dan ekstraperitoneal (Tim FK UI, 2001). Sectio caesar adalah lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim (Alfha, 2008).
Sectio caesar (operasi caesar) berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai tiga dekade terakhir pada abad ke-20. Selama periode itu terjadi penurunan angka kematian ibu dari 100% menjadi 2%. Bedah caesar pertama kali disebut sebagai cara melahirkan bayi dalam dunia kedokteran di tahun 1794, namun pada saat itu melahirkan dengan bedah caesar memiliki risiko kematian ibu yang besar. Hal tersebut disebabkan tidak tersedianya peralatan, obat bius, antibiotik, maupun teknik pembedahan yang baik. Oleh karena itu, bedah caesar pada masa itu hanya dilakukan jika persalinan normal (vaginal) mengancam keselamatan ibu dan janin. Namun kini bedah caesar bukanlah hal asing bagi ibu hamil bahkan ada yang mulai memandang bedah caesar sebagai alternatif persalinan yang mudah dan aman, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar dan berasal dari golongan menengah ke atas (Kasdu, 2003 dalam Mutiara, 2004).
Kemajuan di bidang teknologi kedokteran khususnya dalam metode persalinan ini jelas membawa manfaat besar bagi keselamatan ibu dan bayi. Ditemukannya bedah caesar memang dapat mempermudah proses persalinan sehingga banyak ibu hamil yang lebih senang memilih jalan ini walaupun sebenarnya mereka bisa melahirkan secara normal. Namun faktanya menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi caesar adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam. Bahkan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Adjie, 2002).
Pada tahun 1985 WHO mengusulkan bahwa angka persalinan caesar secara nasional tidak melebihi angka 10% dari seluruh persalinan, namun laporan dari beberapa negara justru melebihi angka tersebut. Sebagai contoh angka nasional Amerika Serikat pada tahun 1986 adalah 24,1%, di Amerika Latin seperti Puerto Rico sebesar 28,7%, di Benua Asia seperti di Nanjing (daratan Cina) mencapai 26,6% (Wirakusuma, 1994 dalam Chaerunnisa, 2005).
Sementara pada tahun-tahun belakangan ini jumlah persalinan dengan bedah caesar di negara-negara Eropa seperti Inggris mencapai 50% dari seluruh kelahiran, dan di Benua Asia sendiri contohnya wilayah Karatanaka Utara India pada tahun 1999 telah meningkat sebesar 30% dari seluruh persalinan (Hubli, 1999 dalam Chaerunnisa, 2005).
Makin dikenalnya bedah caesar dan bergesernya pandangan masyarakat akan metode tersebut, diikuti dengan semakin meningkatnya angka persalinan dengan sectio caesar. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Tahun 1997 dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan bedah caesar secara nasional hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan (BPS Indonesia, 2003 dalam Mutiara, 2004), namun berbagai survei dan penelitian lain menemukan bahwa persentase persalinan bedah caesar pada rumah sakit-rumah sakit di kota besar seperti Jakarta dan Bali berada jauh di atas angka tersebut. Dan secara umum jumlah persalinan caesar di rumah sakit Pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total persalinan (Mutiara, 2004).
Adapun data untuk wilayah Makassar, Sulawesi Selatan yang tercatat pada RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 1994 dari sejumlah 1358 persalinan, 212 (15,6%) diantaranya dilakukan dengan bedah caesar, dan di RSIA Siti Fatima Makassar terjadi peningkatan dari 5,5% pada tahun 2000 menjadi 8,4% pada tahun 2001, kemudian sebesar 10% dari seluruh persalinan pada tahun 2002 dan 17% pada tahun 2003 (Ahmad, 2004). Kemudian pada tahun 2008 di RSB Pertiwi Makassar tercatat 620 (38,3%) persalinan dilakukan melalui bedah Caesar dari total 1619 persalinan (Data Sekender RSB Pertiwi, 2008). Tingginya prevalensi ini tentu dipengaruhi banyak faktor termasuk indikasi medis yang mewajibkan sang ibu menjalani persalinan dengan bedah caesar.
Beberapa kerugian dari persalinan yang dijalani melalui bedah caesar, yaitu adanya komplikasi lain yang dapat terjadi saat tindakan bedah caesar dengan frekuensi di atas 11%, antara lain cedera kandung kemih, cedera rahim, cedera pada pembuluh darah, cedera pada usus, dan infeksi yaitu infeksi pada rahim/endometritis, alat-alat berkemih, usus, serta infeksi akibat luka operasi (Safitri, 2007).
Pada operasi caesar yang direncanakan angka komplikasinya kurang lebih 4,2% sedangkan untuk operasi caesar darurat (sectio caesar emergency) berangka kurang lebih 19%. Setiap tindakan operasi caesar memiliki tingkat kesulitan berbeda-beda. Pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala janin pada akhir jalan lahir misalnya, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah atau cedera pada kandung kemih (robek). Sedangkan pada kasus bekas operasi sebelumnya dimana dapat ditemukan perlekatan organ dalam panggul sering menyulitkan saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan cedera pada kandung kemih dan usus (Adjie, 2002).
Selain berbahaya bagi ibu persalinan dengan sectio caesar ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan imunitas atau daya tahan tubuh bayi yang dilahirkan, hal ini didasarkan pada penelitian di luar negeri yang menunjukkan bahwa bayi lahir melalui proses caesar memiliki risiko lebih tinggi mengidap penyakit seperti diare, asma, dan alergi. Hal ini terjadi karena bayi melalui bedah caesar membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar enam bulan, untuk mencapai mikrobiota usus yang serupa dengan bayi lahir normal (Conway, 2008).
Alasan-alasan yang menyebabkan semakin meningkatnya persentase persalinan dengan sectio caesar saat ini cukup kompleks. Kasdu mengemukakan bahwa di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, bahwa keputusan ibu hamil untuk melahirkan dengan sectio caesar walau tidak memiliki indikasi medis paling banyak disebabkan oleh adanya ketakutan menghadapi persalinan normal atau yang lebih dikenal sebagai rasa takut akan kelahiran (Kasdu, 2003 dalam Mutiara 2004). Selain itu faktor lain yang juga diduga berpengaruh yakni pelayanan kesehatan khususnya mengenai pelayanan antenatal terutama dari segi kuantitas dan kualitasnya. Hal ini merujuk pada pendapat yang diajukan oleh Sibuea (2007) bahwa selain faktor medis terdapat pula faktor-faktor lain yang secara langsung dapat mengindikasikan dilakukannya bedah caesar yaitu akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku pelayanan kesehatan, dan faktor–faktor yang tidak diketahui atau tidak diperkirakan.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan, maka menghindari persalinan melalui sectio caesar adalah penting, untuk itu perlu diperhatikan secara seksama faktor-faktor risiko yang kiranya semakin meningkatkan kejadian sectio caesar tersebut, sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut diharapkan ibu yang sedang hamil dan terutama memiliki risiko untuk menjalani persalinan melalui bedah caesar dapat lebih menjaga dan memelihara kesehatan diri dan kandungannya utamanya melalui pelayanan kesehatan yang optimal. (idn)
by : Nunung P.S, S.KM
“GAMBARAN EPIDEMIOLOGI PENGGUNAAN NAPZA JENIS LEM PADA ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009 ”
Masalah krusial yang muncul seiring dengan meningkatnya jumlah anak jalanan yaitu berdasarkan data Departemen Sosial RI (2006), jumlah anak jalanan di Indonesia dengan perilaku berisiko mencapai 144.889 orang dan sebagian diantaranya pengguna NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya).
Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai gambaran epidemiologi tentang kejadian penggunaan NAPZA jenis lem pada anak jalanan di kota Makassar tahun 2009. Jenis penelitian ini adalah survai epidemiologi dengan pendekatan deskriptif. Populasi adalah semua anak jalanan yang bertempat tinggal di Kota Makassar. Sampel yang terpilih sebanyak 103 orang. Sampel diambil berdasarkan metode ”accidental sampling”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 103 anak jalanan yang menggunakan lem sebanyak 27 orang (26,2 %), 22 orang (81,5%) berjenis kelamin laki-laki, 14 orang (42,4%) yang berumur 13 – 16 tahun, 17 orang (51,9%) yang tingkat pendidikannya Sekolah Dasar (SD), 18 orang (36,7%) yang bekerja sebagai penjual asongan, 26 orang (28,6%) yang bertempat tinggal bersama orang tua, 13 orang (37,1%) yang berpenghasilan masing-masing < Rp25.000 dan Rp 25.000 – 50.000, 20 orang (26,3%) yang bekerja selama 6-8 jam perhari, dimana 10 orang (37,1%) frekuensi menghisap lem satu kali seminggu, 12 orang (44,4%) menghisap lem pada malam hari besar, 7 orang (25,9%) yang telah menghisap lem masing-masing selama satu bulan dan dua bulan, 9 anak (33,4%) melakukan aktivitas “ngelem” yaitu di Pantai Losari.
Penelitian ini menyarankan perlunya pemberian informasi dari instansi/dinas pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas kesehatan kepada anak jalanan tentang bahaya dan akibat dari menghisap lem dan pengawasan yang ketat dari orang tua dan pihak-pihak yang mengurusi anak jalanan serta diperlukan upaya-upaya pendampingan sosial bagi anak jalanan.
Rafika Nursalam, SKM (Epidemiologi FKM Unhas)
Atribut dan Evaluasi Pelaksanaan Surveilans Epidemiologi Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas Kabupaten Maros Tahun 2006-2008
Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue famili flaviviridae, dengan genusnya adalah flavivirus. Pada tahun 2006 jumlah kasus DBD sebesar 315 kasus, pada tahun 2007 dengan jumlah kasus DBD sebesar 258 kasus. Pada tahun 2008, periode bulan januari sampai oktober jumlah kasus DBD sebesar 207 kasus.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran atribut dan evaluasi pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit demam berdarah dengue (DBD) di Puskesmas Kabupaten Maros tahun 2006-2008. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional dengan menggunakan desain deskriptif evaluatif. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret – April 2009 dengan wawancara langsung terhadap petugas surveilans DBD di seluruh puskesmas Kab. Maros yang berjumlah 14 responden.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi epidemiologi penyakit DBD menurut umur, waktu dan tempat selam tahun 2006-2008 yaitu umur 5-9 tahun (33,6%) terbanyak menderita DBD dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 50,6%, bulan januari dan februari merupakan bulan dengan jumlah kasus terbanyak dan wilayah kerja puskesmas Alliritengae dan puskesmas Carangki merupakan daerah dengan tingkat endemisitas tertinggi pada tahun 2006-2008. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa 57,1% puskesmas telah melakukan kegiatan pengumpulan data dengan baik, kegiatan pencatatan dan pengolahan data telah dilakukan oleh semua puskesmas, kegiatan analisis dan interpretasi data sebesar 92,9%, kegiatan penyebarluasan data/pelaporan sebesar 85,7% dan kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan surveilans epidemiologi penyakit DBD sebesar 85,7%.
Berdasarkan penelitian ini maka diharapkan kepada petugas surveilans puskesmas agar melaksanakan kegiatan surveilans epidemiologi penyakit DBD secara berkesinambungan, kepada petugas surveilans diharapkan untuk mengikuti setiap pelatihan surveilans yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan untuk dapat menambah wawasan dan meningkatkan motivasi mereka, perlu ditingkatkan upaya pencegahan pada penduduk golongan umur 5-9 tahun serta perlunya diberikan reward bagi petugas surveilans yang memiliki kinerja yang baik sehingga kinerjanya dapat ditingkatkan lagi.
Kata kunci : surveilans epidemiologi, demam berdarah dengue, puskesmas.
Sitti Fatima,SKM Epidemiologi FKM Unhas
BEBERAPA FAKTOR RISIKO KEJADIAN KEMATIAN MATERNAL DI KABUPATEN BANTAENG TAHUN 2005-2008
Abstrak
Indra Dwinata, Zulkifli A, Ridwan Amiruddin.
Indonesia adalah salah satu negara yang masih belum bisa lepas dari belitan Angka Kematian Ibu (AKI). Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian maternal di Indonesia (MMR) mencapai 248/100.000 kelahiran hidup, Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar risiko umur ibu, paritas ibu, penolong persalinan dan Cakupan K4 pelayanan Antenatal terhadap kejadian kematian maternal.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan Case Control Study dan diperkuat dengan pendekatan kualitatif melalui Indepth Interview. Penelitian ini membandingkan kelompok kasus semua ibu yang mengalami kejadian kematian maternal di Kabupaten Bantaeng dalam kurung waktu 4 tahun (2005-2008) dengan kelompok kontrol yang tidak mengalami kejadian kematian maternal. Jumlah sampel sebanyak 130 dengan perbandingan 1:4 kasus 26 orang dan kontrol 104 orang dengan menggunakan formula Stanley Lamesshow. Data dikumpulkan secara primer kemudian dianalisis dengan menggunakan uji statistik Odds ratio (OR) 95% CI.
Hasil uji statistik bivariat menunjukkan bahwa paritas ibu, penolong persalinan, cakupan K4 pelayanan antenatal (ANC) memiliki hubungan yang bermakna sebagai faktor risiko kejadian kematian maternal dengan nilai masing-masing variabel : paritas ibu (OR 2,728 ; 95%CI 2,124-4,503), penolong persalinan (OR 3,080 ; 95%CI 2,124-4,503), cakupan K4 ANC (OR 3,600; 95% CI 1,446-8,964). Sedangkan variabel umur ibu dengan nilai (OR 1,456 ; 95% CI 0,541-3,919) tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian maternal.
Paritas ibu, Penolong Persalinan, dan Cakupan K4 pelayanan antenatal (ANC) merupakan faktor risiko kejadian kematian maternal sedangkan umur ibu tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kematian maternal.
Kata Kunci : Faktor risiko, kematian maternal
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU SEKSUAL PADA MAHASISWA POLITEKNIK KESEHATAN DEPKES MANADO TAHUN 2009
Permasalahan remaja yang berhubungan dengan perilaku seksual sudah semakin banyak, ini tercermin dari banyaknya kasus kehamilan yang tidak diinginkan, aborsi, serta timbulnya berbagai penyakit menular seksual termasuk HIV dan AIDS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku seksual pada mahasiswa Politeknik Kesehatan Depkes Manado Tahun 2009.
Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional analitik dengan desain cross sectional study, Populasi adalah seluruh mahasiswa DIII Politeknik Kesehatan Depkes Manado Tahun Ajaran 2006-2008 sebanyak 1236 orang. Sampel adalah sebagian mahasiswa Politeknik Kesehatan Depkes Manado Tahun Ajaran 2006-2008 yang belum menikah sebanyak 293 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode proportional stratified random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument penelitian berupa kuesioner. Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS dan selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan narasi. Uji analisis yang digunakan yaitu Uji Chi-Square dengan tingkat signifikansi (α) = 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan perilaku seksual mahasiswa nilai p = (0,001) < α (0,05), ada hubungan antara sikap dengan perilaku seksual mahasiswa nilai p = (0,016) < α (0,05), ada hubungan antara peran orang tua dengan perilaku seksual mahasiswa nilai p = (0,002) < α (0,05), ada hubungan antara peran teman bergaul dengan perilaku seksual mahasiswa nilai p = (0,000) < α (0,05), tidak ada hubungan antara pengawasan tempat tinggal dengan perilaku seksual pada mahasiswa nilai p = ( 0,130) > α (0,05), ada hubungan antara keterpaparan media massa dengan perilaku seksual mahasiswa nilai p = (0,000) < α (0,05).
Penelitian ini menyarankan perlunya informasi mengenai kesehatan reproduksi terutama masalah seksualitas dengan segala dampak dan risikonya, perlunya orang tua senantiasa menciptakan keharmonisan dan keterbukaan dalam keluarga serta memberikan pengawasan yang intensif bagi pergaulan remaja.
Kata Kunci :Perilaku seksual, mahasiswa
Salma Piter Yunus, Rismayanti, Wahiduddin
”FAKTOR RISIKO KEJADIAN PREEKLAMPSIA PADA IBU MELAHIRKAN DI RSIA SITI FATIMAH MAKASSAR TAHUN 2008
Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk preeklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia. Angka morbiditas dan mortalitas maternal dan perinatal akibat penyakit ini masih tinggi. Penyebab terjadinya gangguan preeklampsia belum diketahui dengan pasti. Sering diduga preeklampsia terjadi karena sistem kekebalan tubuh yang bermasalah dan akibat terjepitnya pembuluh darah sehingga aliran pembuluh darah pada plasenta menjadi terganggu.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor risiko kejadian preeklampsia pada ibu melahirkan di RSIA Siti Fatimah Makassar. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik dengan rancangan “Case Control Study”. Sampel kasus adalah semua kasus yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel kontrol dilakukan dengan teknik simple random sampling. Data diperoleh dari data sekunder. Data dikumpulkan berdasarkan variabel yang diteliti yaitu umur ibu, kehamilan kembar, paritas, riwayat obstetri buruk, dan penyakit penyerta. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistik Odds ratio (OR).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa umur ibu, kehamilan kembar, paritas, dan penyakit penyerta memiliki hubungan yang bermakna sebagai faktor risiko kejadian preeklampsia dengan nilai masing-masing variabel : umur ibu OR = 3,144, p=0,000 CI 95% (1,723-5,740), kehamilan kembar OR = 5,303, p=0,043, 95% CI (1,003-28,051), paritas OR = 2,147,p=0,015, 95% CI (1,198-3,846), dan penyakit penyerta OR = 2,237,p=0,013, 95% CI(1,220-4,101). Riwayat obstetri buruk dengan nilai OR = 1,828, p=0,097, 95% CI (0,953-3,505) tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian preeklampsia.
Disarankan pada ibu hamil sebaiknya memeriksakan kehamilannya secara rutin dan petugas kesehatan agar melaksanakan pelayanan antenatal secara maksimal sehingga dapat diprediksi sedini mungkin faktor risiko gangguan kehamilan dan persalinan sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan dan mengurangi komplikasi sedini mungkin.
Key word : preeklampsia, umur, kehamilan kembar, paritas,riwayat obstetri, penyakit penyerta.
Tanti Asrianti, Mahasiswa jurusan Epidemiologi FKM Unhas angk. 2005
LEPTOSPIRSOSIS
Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.
Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.
Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.
Beberapa tahun terakhir di daerah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita “immunocompromised” mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.
Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi
Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting.
Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas patogenitas yang membedakan antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan spesies nonpatogen yang hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir yang rapat, tipis dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)
FRAMBUSIA
Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastic dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.
Selama periode 1990-an, frambusia merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004.di India dengan mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas dari penyakit ini sebelum tahun 2008.
Di Indonesia sendiri, penyakit ini seharusnya, sudah dapat dibasmi sejak Pelita III karena penanganannya sangat sederhana melalui satu kali penyuntikan, namun kenyataannya penyakit ini masih tetap menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah, khususnya didaerah-daerah terpencil seperti di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dari empat Kabupaten dan dua Kota, penyakit frambusia ditemukan pada tiga Kabupaten dengan prevalensi frambusia menular sebesar 20,27 per 10.000 penduduk dan prevalensi frambusia tidak menular sebesar 16,65 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi dari kebijakan Departemen Kesehatan yang telah ditetapkan yakni <>
Frambusia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..
Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan akan mengakibatkan disabilitas dimana sekitar 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat seumur hidup dan menimbulkan stigma social, yang tentunya akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, hal inilah kemudian menjadi tantangan bagi seorang publich health dalam mencegah timbulnya penyakit tersebut dan memperpanjang masa hidup seseorang.
Read More......
Faktor Risiko Stroke
FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUD NENE MALLOMO KABUPATEN SIDRAP TAHUN2007
Stroke merupakan penyakit yang tingkat mortalitas dan morbiditasnya tinggi. Walaupun menurut data epidemiologi akhir-akhir ini cenderung menurun di negara maju tetapi meningkat di negara berkembang. Stroke merupakan salah satu penyebab gangguan otak pada usia produktif dan menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker dan menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor risiko kejadian penyakit stroke pada pasien rawat inap di RSUD Nene Mallomo Kabupaten Sidrap. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan “Case Control Study”. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 136 orang, dengan kasus 68 orang dan control 68 orang atau dengan perbandingan 1 : 1. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik atau buku status penderita. Data dikumpulkan berdasarkan variabel yang diteliti yaitu hipertensi, penyakit jantung, hiperkolesterolemia, dan diabetes mellitus. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistic Odds ratio (OR) untuk membandingkan antara kasus dan kontrol terhadap faktor risiko.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipertensi, penyakit jantung, hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus memiliki hubungan yang bermakna sebagai faktor risiko kejadian penyakit stroke
Disarankan perlunya melakukan kontrol terhadap faktor risiko terjadinya stroke seperti pemeriksaan tekanan darah dan gula darah sehingga jika ditemukan adanya peningkatan tekanan darah dan kadar gula darah dapat dilakukan pencegahan secara dini. Perlunya penerapan gaya hidup yang lebih sehat seperti pengaturan pola makan dan menghindari konsumsi garam dan lemak berlebih Penyuluhan yang lebih intensif dari aparat terkait mengenai faktor risiko kejadian stroke agar masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan sehingga angka morbiditas dan mortalitas stroke dapat diminimalisir.(idn)
Daftar Pustaka : 39 (1996 – 2008)
Kata Kunci : Faktor risiko, Stroke
UPRIANAH (MAHASISWA JUR.EPIDEMIOLOGI FKM UNHAS ANGK.2005)