Strategi Dasar Pemberantasan Penyakit Menular

Jumat, 14 Agustus 2009 · 0 komentar


Seseorang dapat menderita sakit, terutama menderita penyakit menular, karena dimulai adanya agen penyakit (kuman) yang masuk dalam tubuh orang tersebut, keadaan ini disebut sebagai terpapar dan terinfeksi. Didalam tubuh kuman berkembang biak, merusak jaringan, atau menebarkan racun, sehingga pada jumlah kuman yang memadai akan menimbulkan gejala penyakit, keadaan ini disebut menderita sakit. Proses dari keadaan sehat menjadi sakit, karena masuknya agen penyakit kedalam badan, dapat terhambat perkembang biakannya karena adanya imunitas dan daya tahan tubuh orang-orang yang terserang agen penyakit tersebut. Para klinisi akan memahami betul proses terjadinya seseorang yang sehat kemudian menjadi sakit, sekaligus memahami betul agar seseorang yang telah menunjukkan gejala sakit dapat disembuhkan dengan serangkaian kegiatan pengobatan.
Bagi para epidemiologi akan lebih menggali pemahaman mengapa orang yang sehat dapat terpapar suatu agen penyakit yang berasal dari orang sakit, proses ini pada penyakit menular disebut sebagai “tertular”. Penularan dapat terjadi secara langsung dari orang yang menderita sakit kepada orang sehat tanpa perantara lain, misalnya penularan tuberkulosa paru, penyakit menular seksual, campak, inluenza dan sebagainya. Penularan dapat juga terjadi karena agen penyakit yang berasal dari seorang penderita, disebarkan ke lingkungan sekitanya, misalnya agen penyakit keluar dari tubuh orang sakit bersamaan dengan tinja penderita dan menyebar ke tanah, udara atau air, yang kemudian mencemari makanan dan minuman orang sehat. Penularan dapat juga terjadi karena agen penyakit menular pada pembawa penyakit (vektor), kemudian vektor memindahkan agen penyakit kepada orang sehat lainnya, misalnya penularan malaria, demam berdarah, chikungunya melalui vektor nyamuk.
Dengan mencermati proses penularan dan kemampuan tubuh menghadapi penularan agen tersebut, maka dapat diidentifikasi sasaran upaya pemberantasan penyakit menular. Upaya pemberantasan dengan menerapkan manajemen kasus dan manajemen kesehatan masyarakat (public health).

Manajemen kasus dapat diterapkan pada penderita agar dapat cepat sembuh, mencegah kecacatan atau kematian. Manajemen kasus dapat diterapkan pada seseorang yang diperkirakan telah terpapar atau terinfeksi suatu agen penyakit yang belum menunjukkan gejala penyakit agar tetap sehat, baik dengan obat profilaksis, pemberian serum anti penyakit, perbaikan gizi dan sebagainya. Misalnya, pada infeksi malaria dengan pemberian obat anti malaria, karier difteri mendapat antibiotika, terinfeksi HIV dengan menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh. Pada penderita pnemonia, manajemen kasus menjadi strategi dasar penanggulangan yang paling tepat pada pengungsi, baik dengan cara pengobatan, maupun dengan perbaikan gizi terhadap penderita maupun terhadap anak-anak yang sehat agar tidak terserang pnemonia.
Manajemen kesehatan masyarakat dimanfaatkan untuk menekan kemungkinan terjadinya penularan dan penyebarluasan penyakit ke orang lain, sehingga angka kesakitan (insidance rate) dan angka kematian (mortality rate) dapat diturunkan. Manajemen kesehatan masyarakat lebih menekankan pada upaya pencegahan penularan dengan cara memutus mata rantai penularan. Cara pertama adalah dengan melakukan manajemen kasus, baik pengobatan maupun profilaksis. Cara ini dapat secepatnya membersihkan tubuh penderita dari agen penyakit, sehingga penderita atau karier tidak lagi menjadi sumber penularan. Cara kedua, memutus kemungkinan penularan agen penyakit dari penderita ke orang sehat dengan cara isolasi. Misalnya penderita istirahat di rumah dan tidak usah tidak masuk sekolah atau kerja selama sakit, terutama penderita yang penularannya ke orang lain melalui penularan langsung udara, misalnya campak, influenza, difteri dan sebagainya. Penyakit dengan penularan melalaui nyamuk, seperti demam dengue, malaria sebaiknya juga beristirahat di rumah selama periode penularan. Cara ketiga, meningkatkan daya tahan setiap orang dengan cara perbaikan status gizi, sehingga tubuh mampu menahan serangan agen penyakit, atau memproduksi antibodi dengan cepat. Upaya peningkatan daya tahan tubuh dapat dilakukan dengan meningkatkan imunitas secara aktif melalui pemberian imunisasi, misalnya imunisasi campak, difteri, batuk rejan dan sebagainya. Cara keempat, dengan melakukan perbaikan kondisi lingkungan agar tidak rentan menjadi sumber penularan penyakit. Cara yang ditempuh adalah dengan manajemen vektor, seperti pemberantasan sarang nyamuk pada demam dengue dan malaria, manajemen sanitasi lingkungan dan makanan dalam pemberantasan penyakit-penyakit perut, diare, tifus perut dan sebagainya. Cara lain adalah dengan manajemen perilaku sehat. (idn)

Sumber : Modul Manajemen penanggulangan wabah di tempat pengungsian

Read More......

Seputar Sectio Caesar

Kamis, 13 Agustus 2009 · 0 komentar


Sectio caesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Ada tiga teknik sectio caesar, yaitu transperitonealis, corporal (klasik), dan ekstraperitoneal (Tim FK UI, 2001). Sectio caesar adalah lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim (Alfha, 2008).
Sectio caesar (operasi caesar) berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai tiga dekade terakhir pada abad ke-20. Selama periode itu terjadi penurunan angka kematian ibu dari 100% menjadi 2%. Bedah caesar pertama kali disebut sebagai cara melahirkan bayi dalam dunia kedokteran di tahun 1794, namun pada saat itu melahirkan dengan bedah caesar memiliki risiko kematian ibu yang besar. Hal tersebut disebabkan tidak tersedianya peralatan, obat bius, antibiotik, maupun teknik pembedahan yang baik. Oleh karena itu, bedah caesar pada masa itu hanya dilakukan jika persalinan normal (vaginal) mengancam keselamatan ibu dan janin. Namun kini bedah caesar bukanlah hal asing bagi ibu hamil bahkan ada yang mulai memandang bedah caesar sebagai alternatif persalinan yang mudah dan aman, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar dan berasal dari golongan menengah ke atas (Kasdu, 2003 dalam Mutiara, 2004).


Kemajuan di bidang teknologi kedokteran khususnya dalam metode persalinan ini jelas membawa manfaat besar bagi keselamatan ibu dan bayi. Ditemukannya bedah caesar memang dapat mempermudah proses persalinan sehingga banyak ibu hamil yang lebih senang memilih jalan ini walaupun sebenarnya mereka bisa melahirkan secara normal. Namun faktanya menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi caesar adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam. Bahkan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Adjie, 2002).
Pada tahun 1985 WHO mengusulkan bahwa angka persalinan caesar secara nasional tidak melebihi angka 10% dari seluruh persalinan, namun laporan dari beberapa negara justru melebihi angka tersebut. Sebagai contoh angka nasional Amerika Serikat pada tahun 1986 adalah 24,1%, di Amerika Latin seperti Puerto Rico sebesar 28,7%, di Benua Asia seperti di Nanjing (daratan Cina) mencapai 26,6% (Wirakusuma, 1994 dalam Chaerunnisa, 2005).
Sementara pada tahun-tahun belakangan ini jumlah persalinan dengan bedah caesar di negara-negara Eropa seperti Inggris mencapai 50% dari seluruh kelahiran, dan di Benua Asia sendiri contohnya wilayah Karatanaka Utara India pada tahun 1999 telah meningkat sebesar 30% dari seluruh persalinan (Hubli, 1999 dalam Chaerunnisa, 2005).
Makin dikenalnya bedah caesar dan bergesernya pandangan masyarakat akan metode tersebut, diikuti dengan semakin meningkatnya angka persalinan dengan sectio caesar. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Tahun 1997 dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan bedah caesar secara nasional hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan (BPS Indonesia, 2003 dalam Mutiara, 2004), namun berbagai survei dan penelitian lain menemukan bahwa persentase persalinan bedah caesar pada rumah sakit-rumah sakit di kota besar seperti Jakarta dan Bali berada jauh di atas angka tersebut. Dan secara umum jumlah persalinan caesar di rumah sakit Pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total persalinan (Mutiara, 2004).
Adapun data untuk wilayah Makassar, Sulawesi Selatan yang tercatat pada RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 1994 dari sejumlah 1358 persalinan, 212 (15,6%) diantaranya dilakukan dengan bedah caesar, dan di RSIA Siti Fatima Makassar terjadi peningkatan dari 5,5% pada tahun 2000 menjadi 8,4% pada tahun 2001, kemudian sebesar 10% dari seluruh persalinan pada tahun 2002 dan 17% pada tahun 2003 (Ahmad, 2004). Kemudian pada tahun 2008 di RSB Pertiwi Makassar tercatat 620 (38,3%) persalinan dilakukan melalui bedah Caesar dari total 1619 persalinan (Data Sekender RSB Pertiwi, 2008). Tingginya prevalensi ini tentu dipengaruhi banyak faktor termasuk indikasi medis yang mewajibkan sang ibu menjalani persalinan dengan bedah caesar.
Beberapa kerugian dari persalinan yang dijalani melalui bedah caesar, yaitu adanya komplikasi lain yang dapat terjadi saat tindakan bedah caesar dengan frekuensi di atas 11%, antara lain cedera kandung kemih, cedera rahim, cedera pada pembuluh darah, cedera pada usus, dan infeksi yaitu infeksi pada rahim/endometritis, alat-alat berkemih, usus, serta infeksi akibat luka operasi (Safitri, 2007).
Pada operasi caesar yang direncanakan angka komplikasinya kurang lebih 4,2% sedangkan untuk operasi caesar darurat (sectio caesar emergency) berangka kurang lebih 19%. Setiap tindakan operasi caesar memiliki tingkat kesulitan berbeda-beda. Pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala janin pada akhir jalan lahir misalnya, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah atau cedera pada kandung kemih (robek). Sedangkan pada kasus bekas operasi sebelumnya dimana dapat ditemukan perlekatan organ dalam panggul sering menyulitkan saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan cedera pada kandung kemih dan usus (Adjie, 2002).
Selain berbahaya bagi ibu persalinan dengan sectio caesar ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan imunitas atau daya tahan tubuh bayi yang dilahirkan, hal ini didasarkan pada penelitian di luar negeri yang menunjukkan bahwa bayi lahir melalui proses caesar memiliki risiko lebih tinggi mengidap penyakit seperti diare, asma, dan alergi. Hal ini terjadi karena bayi melalui bedah caesar membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar enam bulan, untuk mencapai mikrobiota usus yang serupa dengan bayi lahir normal (Conway, 2008).
Alasan-alasan yang menyebabkan semakin meningkatnya persentase persalinan dengan sectio caesar saat ini cukup kompleks. Kasdu mengemukakan bahwa di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, bahwa keputusan ibu hamil untuk melahirkan dengan sectio caesar walau tidak memiliki indikasi medis paling banyak disebabkan oleh adanya ketakutan menghadapi persalinan normal atau yang lebih dikenal sebagai rasa takut akan kelahiran (Kasdu, 2003 dalam Mutiara 2004). Selain itu faktor lain yang juga diduga berpengaruh yakni pelayanan kesehatan khususnya mengenai pelayanan antenatal terutama dari segi kuantitas dan kualitasnya. Hal ini merujuk pada pendapat yang diajukan oleh Sibuea (2007) bahwa selain faktor medis terdapat pula faktor-faktor lain yang secara langsung dapat mengindikasikan dilakukannya bedah caesar yaitu akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku pelayanan kesehatan, dan faktor–faktor yang tidak diketahui atau tidak diperkirakan.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan, maka menghindari persalinan melalui sectio caesar adalah penting, untuk itu perlu diperhatikan secara seksama faktor-faktor risiko yang kiranya semakin meningkatkan kejadian sectio caesar tersebut, sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut diharapkan ibu yang sedang hamil dan terutama memiliki risiko untuk menjalani persalinan melalui bedah caesar dapat lebih menjaga dan memelihara kesehatan diri dan kandungannya utamanya melalui pelayanan kesehatan yang optimal. (idn)

by : Nunung P.S, S.KM

Read More......

“GAMBARAN EPIDEMIOLOGI PENGGUNAAN NAPZA JENIS LEM PADA ANAK JALANAN DI KOTA MAKASSAR TAHUN 2009 ”

Jumat, 07 Agustus 2009 · 0 komentar


Masalah krusial yang muncul seiring dengan meningkatnya jumlah anak jalanan yaitu berdasarkan data Departemen Sosial RI (2006), jumlah anak jalanan di Indonesia dengan perilaku berisiko mencapai 144.889 orang dan sebagian diantaranya pengguna NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya).
Penelitian ini bertujuan memperoleh informasi mengenai gambaran epidemiologi tentang kejadian penggunaan NAPZA jenis lem pada anak jalanan di kota Makassar tahun 2009. Jenis penelitian ini adalah survai epidemiologi dengan pendekatan deskriptif. Populasi adalah semua anak jalanan yang bertempat tinggal di Kota Makassar. Sampel yang terpilih sebanyak 103 orang. Sampel diambil berdasarkan metode ”accidental sampling”.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 103 anak jalanan yang menggunakan lem sebanyak 27 orang (26,2 %), 22 orang (81,5%) berjenis kelamin laki-laki, 14 orang (42,4%) yang berumur 13 – 16 tahun, 17 orang (51,9%) yang tingkat pendidikannya Sekolah Dasar (SD), 18 orang (36,7%) yang bekerja sebagai penjual asongan, 26 orang (28,6%) yang bertempat tinggal bersama orang tua, 13 orang (37,1%) yang berpenghasilan masing-masing < Rp25.000 dan Rp 25.000 – 50.000, 20 orang (26,3%) yang bekerja selama 6-8 jam perhari, dimana 10 orang (37,1%) frekuensi menghisap lem satu kali seminggu, 12 orang (44,4%) menghisap lem pada malam hari besar, 7 orang (25,9%) yang telah menghisap lem masing-masing selama satu bulan dan dua bulan, 9 anak (33,4%) melakukan aktivitas “ngelem” yaitu di Pantai Losari.
Penelitian ini menyarankan perlunya pemberian informasi dari instansi/dinas pemerintah dalam hal ini Dinas Sosial dan Dinas kesehatan kepada anak jalanan tentang bahaya dan akibat dari menghisap lem dan pengawasan yang ketat dari orang tua dan pihak-pihak yang mengurusi anak jalanan serta diperlukan upaya-upaya pendampingan sosial bagi anak jalanan.

Rafika Nursalam, SKM (Epidemiologi FKM Unhas)



Read More......

HIMAPID in Action

Distribusi Tempat

Distribusi Waktu

Feedjit

Hamster Epid

Jumlah Pengunjung