Sectio caesar adalah pembedahan untuk melahirkan janin dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Ada tiga teknik sectio caesar, yaitu transperitonealis, corporal (klasik), dan ekstraperitoneal (Tim FK UI, 2001). Sectio caesar adalah lahirnya janin, plasenta dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim (Alfha, 2008).
Sectio caesar (operasi caesar) berkembang sejak akhir abad ke-19 sampai tiga dekade terakhir pada abad ke-20. Selama periode itu terjadi penurunan angka kematian ibu dari 100% menjadi 2%. Bedah caesar pertama kali disebut sebagai cara melahirkan bayi dalam dunia kedokteran di tahun 1794, namun pada saat itu melahirkan dengan bedah caesar memiliki risiko kematian ibu yang besar. Hal tersebut disebabkan tidak tersedianya peralatan, obat bius, antibiotik, maupun teknik pembedahan yang baik. Oleh karena itu, bedah caesar pada masa itu hanya dilakukan jika persalinan normal (vaginal) mengancam keselamatan ibu dan janin. Namun kini bedah caesar bukanlah hal asing bagi ibu hamil bahkan ada yang mulai memandang bedah caesar sebagai alternatif persalinan yang mudah dan aman, khususnya bagi mereka yang tinggal di kota besar dan berasal dari golongan menengah ke atas (Kasdu, 2003 dalam Mutiara, 2004).
Kemajuan di bidang teknologi kedokteran khususnya dalam metode persalinan ini jelas membawa manfaat besar bagi keselamatan ibu dan bayi. Ditemukannya bedah caesar memang dapat mempermudah proses persalinan sehingga banyak ibu hamil yang lebih senang memilih jalan ini walaupun sebenarnya mereka bisa melahirkan secara normal. Namun faktanya menurut Bensons dan Pernolls, angka kematian pada operasi caesar adalah 40-80 tiap 100.000 kelahiran hidup. Angka ini menunjukkan risiko 25 kali lebih besar dibanding persalinan pervaginam. Bahkan untuk kasus karena infeksi mempunyai angka 80 kali lebih tinggi dibandingkan dengan persalinan pervaginam (Adjie, 2002).
Pada tahun 1985 WHO mengusulkan bahwa angka persalinan caesar secara nasional tidak melebihi angka 10% dari seluruh persalinan, namun laporan dari beberapa negara justru melebihi angka tersebut. Sebagai contoh angka nasional Amerika Serikat pada tahun 1986 adalah 24,1%, di Amerika Latin seperti Puerto Rico sebesar 28,7%, di Benua Asia seperti di Nanjing (daratan Cina) mencapai 26,6% (Wirakusuma, 1994 dalam Chaerunnisa, 2005).
Sementara pada tahun-tahun belakangan ini jumlah persalinan dengan bedah caesar di negara-negara Eropa seperti Inggris mencapai 50% dari seluruh kelahiran, dan di Benua Asia sendiri contohnya wilayah Karatanaka Utara India pada tahun 1999 telah meningkat sebesar 30% dari seluruh persalinan (Hubli, 1999 dalam Chaerunnisa, 2005).
Makin dikenalnya bedah caesar dan bergesernya pandangan masyarakat akan metode tersebut, diikuti dengan semakin meningkatnya angka persalinan dengan sectio caesar. Di Indonesia sendiri, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Tahun 1997 dan tahun 2002-2003 mencatat angka persalinan bedah caesar secara nasional hanya berjumlah kurang lebih 4% dari jumlah total persalinan (BPS Indonesia, 2003 dalam Mutiara, 2004), namun berbagai survei dan penelitian lain menemukan bahwa persentase persalinan bedah caesar pada rumah sakit-rumah sakit di kota besar seperti Jakarta dan Bali berada jauh di atas angka tersebut. Dan secara umum jumlah persalinan caesar di rumah sakit Pemerintah adalah sekitar 20-25% dari total persalinan, sedangkan di rumah sakit swasta jumlahnya sangat tinggi yaitu sekitar 30-80% dari total persalinan (Mutiara, 2004).
Adapun data untuk wilayah Makassar, Sulawesi Selatan yang tercatat pada RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo pada tahun 1994 dari sejumlah 1358 persalinan, 212 (15,6%) diantaranya dilakukan dengan bedah caesar, dan di RSIA Siti Fatima Makassar terjadi peningkatan dari 5,5% pada tahun 2000 menjadi 8,4% pada tahun 2001, kemudian sebesar 10% dari seluruh persalinan pada tahun 2002 dan 17% pada tahun 2003 (Ahmad, 2004). Kemudian pada tahun 2008 di RSB Pertiwi Makassar tercatat 620 (38,3%) persalinan dilakukan melalui bedah Caesar dari total 1619 persalinan (Data Sekender RSB Pertiwi, 2008). Tingginya prevalensi ini tentu dipengaruhi banyak faktor termasuk indikasi medis yang mewajibkan sang ibu menjalani persalinan dengan bedah caesar.
Beberapa kerugian dari persalinan yang dijalani melalui bedah caesar, yaitu adanya komplikasi lain yang dapat terjadi saat tindakan bedah caesar dengan frekuensi di atas 11%, antara lain cedera kandung kemih, cedera rahim, cedera pada pembuluh darah, cedera pada usus, dan infeksi yaitu infeksi pada rahim/endometritis, alat-alat berkemih, usus, serta infeksi akibat luka operasi (Safitri, 2007).
Pada operasi caesar yang direncanakan angka komplikasinya kurang lebih 4,2% sedangkan untuk operasi caesar darurat (sectio caesar emergency) berangka kurang lebih 19%. Setiap tindakan operasi caesar memiliki tingkat kesulitan berbeda-beda. Pada operasi kasus persalinan macet dengan kedudukan kepala janin pada akhir jalan lahir misalnya, sering terjadi cedera pada rahim bagian bawah atau cedera pada kandung kemih (robek). Sedangkan pada kasus bekas operasi sebelumnya dimana dapat ditemukan perlekatan organ dalam panggul sering menyulitkan saat mengeluarkan bayi dan dapat pula menyebabkan cedera pada kandung kemih dan usus (Adjie, 2002).
Selain berbahaya bagi ibu persalinan dengan sectio caesar ternyata juga berpengaruh terhadap perkembangan imunitas atau daya tahan tubuh bayi yang dilahirkan, hal ini didasarkan pada penelitian di luar negeri yang menunjukkan bahwa bayi lahir melalui proses caesar memiliki risiko lebih tinggi mengidap penyakit seperti diare, asma, dan alergi. Hal ini terjadi karena bayi melalui bedah caesar membutuhkan waktu lebih lama, yakni sekitar enam bulan, untuk mencapai mikrobiota usus yang serupa dengan bayi lahir normal (Conway, 2008).
Alasan-alasan yang menyebabkan semakin meningkatnya persentase persalinan dengan sectio caesar saat ini cukup kompleks. Kasdu mengemukakan bahwa di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, bahwa keputusan ibu hamil untuk melahirkan dengan sectio caesar walau tidak memiliki indikasi medis paling banyak disebabkan oleh adanya ketakutan menghadapi persalinan normal atau yang lebih dikenal sebagai rasa takut akan kelahiran (Kasdu, 2003 dalam Mutiara 2004). Selain itu faktor lain yang juga diduga berpengaruh yakni pelayanan kesehatan khususnya mengenai pelayanan antenatal terutama dari segi kuantitas dan kualitasnya. Hal ini merujuk pada pendapat yang diajukan oleh Sibuea (2007) bahwa selain faktor medis terdapat pula faktor-faktor lain yang secara langsung dapat mengindikasikan dilakukannya bedah caesar yaitu akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku pelayanan kesehatan, dan faktor–faktor yang tidak diketahui atau tidak diperkirakan.
Mengingat bahaya yang ditimbulkan, maka menghindari persalinan melalui sectio caesar adalah penting, untuk itu perlu diperhatikan secara seksama faktor-faktor risiko yang kiranya semakin meningkatkan kejadian sectio caesar tersebut, sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut diharapkan ibu yang sedang hamil dan terutama memiliki risiko untuk menjalani persalinan melalui bedah caesar dapat lebih menjaga dan memelihara kesehatan diri dan kandungannya utamanya melalui pelayanan kesehatan yang optimal. (idn)
by : Nunung P.S, S.KM
Seputar Sectio Caesar
Kamis, 13 Agustus 2009
by
HIMAPID
·
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar