Pelatihan SIG HIMAPID

Minggu, 22 Maret 2009 · 2 komentar


Himpunan Mahaiswa epidemiologi (HIMAPID FKM UNHAS) mengadakan pelatihan Sistem Informasi Geografis (SIG) di Lab.Komputer FKM Unhas, Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 20-22 Maret 2009, kegiatan ini dihadiri 35 peserta dan dibimbing oleh salah satu dosen epidemiologi yang sudah ahli dan berpengalaman.
Pelatihan ini merupakan program kerja Himpunan yang bertujuan untuk mengenalkan kepada para peserta sebuah aplikasi yang berfungsi untuk memetakan masalah kesehatan, seperti pemetaan daerah penularan DBD, TBC dan pemetaan masalah kesehatan lainnya.
Manfaat SIG dibidang Kesehatan masyarakat adalah :
Fungsi Pertama yaitu memonitor status kesehatan untuk mengidentifikasi masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Fugsi kedua yaitu mengdiagnosa dan menginvestigasi masalah serta risiko kesehatan di masyarakat
Fungsi ketiga yaitu menginformasikan, mendidik dan memberdayakan masyarakat mengenai isu-isu kesehatan
Fungsi keempat menggerakkan hubungan kerjasama dengan masyarakat untuk mengidentifikasi dan memecahkan masalah kesehatan.
Fungsi kelima membangun kebijakan dan rencana yang mendukung usaha individu maupun masyarakat dalam menyelesaikan masalah kesehatan.
Kegiatan pelatihan yang bertema SIG sebagai jembatan dalam menjawab tantangan global ini diharapkan mampu memberdayakan para peserta untuk bisa membuat pemetaan masalah kesehatan baik dalam penelitian maupun pada saat didunia kerja nantinya. (idn)



Read More......

Kematian Maternal

Jumat, 13 Maret 2009 · 0 komentar


Ke¬ma¬tian maternal merupakan kematian dari se¬tiap wanita selama masa kehamilan, bersalin atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya ke¬ha¬milan oleh sebab apapun, tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan, oleh setiap penyebab yang berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi bukan oleh kecelakaan atau insidental (faktor kebetulan). Hal ini sesuai dengan defenisi Internasional Statistical Classification of Disease and Related Health Problems (ICD). Angka kematian maternal kemudian didefenisikan sebagai jumlah kematian maternal selama satu periode waktu dalam 100.000 kelahiran hidup.
Data organisasi kesehatan dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahun sejumlah 500 orang perempuan meninggal dunia akibat kehamilan dan persalinan, fakta ini mendekati terjadinya satu kematian setiap menit. Diperkirakan 99% kematian tersebut terjadi di negara-negara berkembang (WHO,2007).
Indonesia adalah salah satu negara yang masih belum bisa lepas dari belitan angka kematian ibu (AKI) yang tinggi. Bah¬kan jumlah perempuan Indonesia yang me¬ninggal saat melahirkan mencapai rekor ter¬tinggi di Asia. Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, angka kematian maternal di Indonesia mencapai 248/100.000 kelahiran hidup, itu berarti setiap 100.000 kelahiran hidup masih ada sekitar 248 ibu yang meninggal akibat komplikasi kehamilan dan persalinan.


Propinsi di Indonesia dengan kasus kematian ibu melahirkan tertinggi adalah Propinsi Papua, yaitu sebesar 730/100.000 kelahiran hidup, diikuti Propinsi Nusa Tenggara Barat sebesar 370/100.000 kelahiran hidup, Propinsi Maluku sebesar 340/100.000 kelahiran hidup, sedangkan di Sulawesi Selatan berdasarkan profil kesehatan Sulawesi Selatan jumlah kejadian kematian maternal yang dilaporkan pada Tahun 2007 yaitu sebesar 104/100.000 kelahiran hidup (Dinkes Propinsi Sulawesi-Selatan, 2008).
Tingginya angka kematian ibu tersebut berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat. Hal ini disebabkan karena satu atau lebih anak menjadi piatu, penghasilan keluarga berkurang atau hilang sama sekali. Ditambah lagi saat ini jumlah perempuan yang bekerja makin banyak sehingga kontribusi mereka terhadap kesejahteraan keluarga juga meningkat. Setiap tahun diperkirakan satu juta anak meninggal menyusul kematian ibu mereka. Anak-anak yang ibunya meninggal kurang mendapat perhatian dan perawatan dibandingkan dengan yang memiliki ibu yang masih hidup .
Kematian maternal juga sering dipakai sebagai indikator kesejahteraan rakyat atau kualitas pembanguan Manusia (IPM/HDI), hal ini didasarkan angka kematian maternal sangat erat kaitannya dengan perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Telah banyak usaha yang dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka kematian maternal, seperti Gerakan Sayang Ibu (GSI), Buku KIA, Safe Motherhood: Partnership Family Approach,Penempatan bidan di desa, Maternal and Neonatal Health (MNH), Making Pregnancy Safer (MPS), dan program-program lainnya. Namun program dan strategi tersebut belum mampu mempercepat penurunan angka kematian ibu.
Seperti kita ketahui target Millenium Development Goal’s (MDG’s) salah satunya adalah mengurangi angka kematian ibu (AKI) di seluruh dunia sebesar 75% dari tahun 1900 ke 2015. Sebagai gambaran pada tahun 1990 AKI di Indonesia masih sekitar 408/100.000 kelahiran hidup, sesuai target MDG’s di tahun 2015 akan menjadi 102/100.000 kelahiran hidup. Di sisi lain berdasarkan analisis trend penurunan AKI periode 1900 – 2015 ternyata diperkirakan hanya akan mencapai 52-55% sehingga kemungkinan besar target MDG’s tetang AKI di Indonesia sulit tercapai (Bapenas, 2007).
Tingginya angka kematian maternal diatas dipengaruhi oleh banyak faktor dan sangat kompleks, secara garis besar faktor determinan kematian maternal digolongkan menjadi dua faktor besar yaitu faktor medis/langsung dan faktor non-medis/tidak langsung. Faktor medis/langsung disebabkan oleh komplikasi obstetrik atau penyakit kronik yang menjadi lebih berat selama masa kehamilan, sehingga berakhir dengan kematian, yaitu Perdarahan (28%), Eklampsia (24%), Infeksi (11%), Abortus (5%), partus lama, trauma obstetrik (5%), emboli obstetrik (3%). Sebagian kematian maternal banyak terjadi pada saat persalinan, melahirkan dan sesaat setelah melahirkan (www.pkmi-online.com,2005).
Faktor reproduksi ibu turut menambah besar risiko kematian maternal. Jumlah paritas satu dan Paritas diatas tiga telah terbukti meningkatkan angka kematian maternal dibanding paritas 2-3, selain itu faktor umur ibu melahirkan juga menjadi faktor risiko kematian ibu, dimana usia muda yaitu < 20 tahun dan usia tua ≥35 tahun pada saat melahirkan menjadi faktor risiko kematian maternal, sedangkan jarak antara tiap kehamilan yang dianggap cukup aman adalah 3-4 tahun. Faktor kematian maternal ini kemudian diidentifikasi sebagai 4 Terlalu (terlalu muda, terlalu tua, terlalu rapat jarak kehamilan dan terlalu banyak).
Selain faktor medis dan reproduksi, faktor non-medis turut menambah parah risiko kematian maternal. faktor non-medis/tidak langsung tersebut yaitu kondisi sosial budaya, ekonomi, pendidikan, Kedudukan dan peran wanita, kondisi geografis, dan transportasi, ini kemudian diidentifikasi sebagai tiga terlambat (3T).
Hal ini sesuai dengan penelitian Widarsa, (2002) yang menyatakan bahwa frekuensi ANC < 4 kali memiliki risiko kematian ibu dengan OR 11,7. Pemeriksaan kehamilan yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi dapat menurunkan angka kematian ibu (www.library.usu.ac.id, 2008).
Faktor-faktor diataslah yang kemudian turut berkontribusi dan mempertinggi risiko kematian maternal, padahal pada dasarnya faktor-faktor tersebut dapat mudah untuk dicegah dan dihindarkan. Kematian maternal yang disebabkan oleh faktor-faktor yang seharusnya dapat dihindari, atau peluang yang terlewatkan maupun pelayanan dibawah standar, harus dapat ditemukan masalahnya. Oleh sebab itu penting dilakukan upaya untuk identifikasi seberapa besar faktor risiko tersebut terhadap kejadian kematian maternal.

Indra Dwinata, 05
Jurusan Epidemiologi,FKM Unhas

Read More......

Perilaku Berisiko Mahasiswa

Selasa, 10 Maret 2009 · 0 komentar


Agak sulit dipersalahkan, mahasiswa sebagai bagian dari remaja, yang memiliki karakteristik layaknya seperti remaja yaitu penuh rasa ingin tahu, sedang mencari jati diri, emosi labil serta butuh pengarahan, dianggap menjadi kelompok yang sudah mandiri dan bertanggungjawab. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam aspek fisik, emosi, kognitif, dan sosial. Masa ini merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa.
Pada masa transisi ini mahasiswa atau remaja menjadi rentan terhadap perilaku – perilaku berisiko, masalah yang biasa sering dihadapi, seperti merokok, minum-minuman beralkohol, seks pranikah dan penyalahgunaan narkoba Yang memberikan efek yang negatif bagi kondisi kesehatan bahkan dapat membawa malapetaka berupa tingginya kejadian penyakit kematian akibat perilaku yang berisiko tersebut (Depkes,2002)
Menurut penelitian Organisasi Kesehatan dunia (WHO), dewasa ini kasus perilaku berisiko menunjukkan persentase yang semakin tinggi yaitu diperkirakan terdapat 1,26 miliar perokok dengan 5.000.000 kematian pertahun di seluruh dunia, kematian akibat alkohol sebanyak 1.800.00 pertahun (CDC,2001) Masalah hubungan seksual di kalangan remaja juga merupakan masalah global, karena hampir diseluruh negara di dunia menunjukkan kecenderungan serupa. Di USA setiap tahunnya dilaporkan 500.000 remaja hamil dan 70% diantaranya belum menikah. disamping merebaknya kasus rokok, minum alkohol ,dan seks bebas masalah penyalahgunaan narkoba juga makin merabak berdasarkan Laporan Narkoba Dunia (World Drug Report) jumlah penyalahguna narkoba di dunia sebesar 200juta orang (5% dari populasi dunia) yang terdiri dari : 160,9 juta orang (penyalahguna ganja), 34,1 juta (ATS), 13,7 juta orang (kokain), 15,9juta orang (opiat) dan 10,6 juta orang (heroin). Bianchi (2004) penduduk usia 15-64 tahun (UNODC ,2005).

Data menunjukkan Lebih kurang 1,1 milyar penduduk dunia merokok (World Bank, 1999). Pada tahun 2025, jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat sampai dengan 1,6 milyar. Dengan jumlah perokok sebanyak 75% dari populasi. WHO melaporkan bahwa Indonesia adalah salah satu dari lima negara yang terbanyak perokoknya di dunia (Adiatma ,1992).
Selain itu, salah satu perilaku berisiko yang sangat penting untuk diperhatikan adalah perilaku mengkonsumsi Narkotika. Berdasarkan data yang dihimpun Badan Narkotika Nasional tahun 2006, didapatkan orang menggunakan narkoba bukan hanya remaja saja, tetapi ada berumur 78 tahun, namun yang rentan memang usia 15-24 tahun, terdapat 83.000 pelajar di negeri ini telah memakai narkoba dan yang lebih memprihatinkan 8.449 orang di antaranya adalah pelajar sekolah dasar. Dan diperoleh sebanyak 63 % penyalahguna narkoba pertama kali mencoba pada usia 15 – 24 tahun. bahkan eksekutif berusia 25-29 tahun juga banyak memakai barang haram tersebut dan pada tahun 2000 tercatat 21 kasus narkoba kalangan anak-anak berusia 15 tahun ke bawah, kemudian meningkat menjadi 25 kasus pada 2001, 23 kasus pada 2002, 67 kasus pada 2003, 71 kasus pada 2004, 109 kasus pada 2005.
Selain itu masalah yang tak kalah pentingya ialah perilaku sex bebas di kalangan remaja, Menurut Okanegara (2007) remaja Indonesia yang berusia 10-24 tahun mencapai 65 juta orang atau 30 persen dari total penduduk Indonesia, sekitar 15-20 persen dari remaja usia sekolah di Indonesia sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah, 15 juta remaja perempuan usia 15-19 tahun melahirkan setiap tahunnya, hingga Juni 2006 telah tercatat 6332 kasus AIDS dan 4527 kasus HIV positif di Indonesia, dengan 78,8 persen dari kasus-kasus baru yang terlaporkan berasal dari usia 15-29 tahun, setiap tahun ada sekitar 2,3 juta kasus aborsi di Indonesia di mana 20 persen diantaranya adalah aborsi yang dilakukan oleh remaja data kehamilan remaja Indonesia menunjukkan hamil diluar nikah karena diperkosa sebanyak 3,2 %, karena sama-sama mau sebanyak 12,9 %, dan tidak terduga sebanyak 45 %, seks bebas sendiri mencapai 22,6 % (Ari Saputra,2007).
Sementara itu Berdasarkan hasil kajian Rapid assessment Response of Injecting Drugs User (RAR OF IDUS) tahun 2002 kasus merokok di Sulawesi Selatan pada pelajar dan mahasiswa sebesar 49,9%, minum- minuman beralkohol 32,7%,seks pra nikah 29,5% diperkirakan 300 orang pecandu NAPZA yang terdeksi, sedangkan yang tidak terdeteksi bisa jauh lebih banyak dari angka tersebut (Depkes, 2002).
Kenyataan semakin meningkatnya jumlah perokok, minum- minuman beralkohol , seks pra nikah dan pecandu narkoba telah menyebar sebagai suatu penyakit yang menakutkan, suatu ancaman yang mengerikan bagi kehidupan bangsa dimasa kini dan masa yang akan datang. Berbagai masalah kompleks dapat timbul dari perilaku perilaku tersebut yang terkait dengan berbagai aspek kehidupan antara lain aspek kesehatan, psikologis, ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Dampak umum dari perilaku berisiko di atas dilihat dari merosotnya prestasi belajar, rusaknya keharmonisan keluarga, perkelahian, kahamilan yang tidak diinginkan dan tindak kekerasan serta meningkatnya kecelakaan lalu lintas. Begitu juga dengan masalah kesehatan yang timbul berupa mewabahnya HIV/ AIDS, meningkatnya penderita gizi buruk, kelainan paru- paru, kelainan fungsi lever dan Hepatitis B serta masih banyak lagi komplikasi perilaku beriko tersebut sehingga perluh perhatian banyak pihak dalam mengendalikan masalah tersebut.(idn)

Read More......

Kesehatan Reproduksi Mahasiswa

· 0 komentar


Zaman globalisasi membuat nilai–nilai moral yang ada dalam masyarakat menjadi semakin berkurang. Pergaulan menjadi semakin bebas sehingga melanggar batas-batas nilai moral dan agama. Hubungan seks yang seharusnya hanya boleh dilakukan dalam ikatan perkawinan sudah dianggap wajar dalam status berpacaran.
Remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda-beda tergantung faktor sosial budaya. Cirinya adalah alat-alat reproduksi mulai berfungsi, libido mulai muncul, intelingensi mencapai puncak perkembangannya, emosi sangat stabil, kesetiakawanan yang kuat terhadap teman sebaya dan belum menikah. Masa remaja merupakan masa penggalian jati diri, pada saat penggalian jati diri tersebut muncul rasa ingin tahu yang begitu besar dari diri para remaja. Masalah seks merupakan salah satu hal yang ingin diketahui oleh remaja. Untuk memberikan informasi tentang masalah seks kepada remaja dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan seks. Akan tetapi, orang tua yang merupakan orang yang paling dekat dengan remaja, cenderung tertutup jika berbicara tentang masalah seks dengan putra-putri mereka. Hal ini menyebabkan remaja kurang mendapatkan informasi tentang masalah seks dari orang tua mereka (Jhony, 2002).
Remaja yang sudah berkembang kematangan seksualnya, jika kurang mendapatkan pengarahan dari guru atau orang tua, akan dapat mudah terjebak dalam masalah. Masalah yang dimaksud dalam hal ini terutama dapat terjadi apabila remaja tidak dapat mengendalikan perilaku seksualnya. Akibatnya remaja cenderung untuk melakukan hubungan seks di luar nikah, hubungan seks bebas, melakukan aborsi bagi remaja putri dan melakukan tindak perkosaan (Mulyadi, 2008).

Masa remaja secara global berlangsung antara usia 13 sampai dengan 21 tahun. Masa remaja ini dibagi menjadi dua, yaitu masa remaja awal usia 13-18 tahun dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Hurlock, 1992). Pertumbuhan dan perkembangan fisik dan seksual berlangsung sekitar usia 12 tahun. Pada remaja awal khususnya bagi remaja putri rahimnya sudah bisa dibuahi karena ia sudah mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama (Zulkifli, 1986). Seorang remaja akhir mengalami kematangan seksual (dalam kondisi seks yang optimum) dan telah membentuk pola-pola kencan yang lebih serius dan mendalam dengan lawan jenis atau berpotensi aktif secara seksual, terutama remaja putri akan lebih sensitif dorongan seksualnya dan memiliki rasa ingin tahu sangat besar dari pada remaja putra (Mappiere, 1982).
Mahasiswa yang merupakan bagian dari remaja dan memiliki tanggung jawab di kampus pun lebih banyak tidak peduli akan kondisi yang terjadi, apabila tidak terjadi kasus besar dan tidak menjadi berita besar, aktivitas seksual dianggap hal biasa yang terjadi seiring perkembangan mahasiswa. Padahal kondisi mahasiswa semakin hari semakin membawa perubahan cukup mencengangkan, terutama pada aktivitas seksual yang semakin hari menunjukkan jumlah dan dampak negatif yang signifikan (Krisanto, 2008).
Kesehatan reproduksi merupakan masalah penting untuk mendapatkan perhatian terutama di kalangan remaja. Remaja yang kelak akan menikah dan menjadi orang tua sebaiknya mempunyai kesehatan reproduksi yang prima sehingga dapat menurunkan generasi sehat (Manuaba, 1998).
Ada dua faktor yang mendasari perilaku seks pada remaja. Pertama, harapan untuk kawin dalam usia yang relatif muda (20 tahun) dan kedua, makin derasnya arus informasi yang dapat menimbulkan rangsangan seksual remaja terutama di perkotaan (Manuaba, 1998).
Mengenai golongan remaja, ditemukan bahwa lebih dari setengah penduduk dunia berumur di bawah 25 tahun, dan sekitar 80% berada di negara berkembang dan di semua belahan dunia sejumlah besar remaja melakukan aktivitas seks pada umur awal, disertai peningkatan proportional terjadi di luar perkawinan. Dalam melakukan kegiatan seks ini, kebanyakan mereka tidak menggunakan alat kontrasepsi (hanya sekitar 17% wanita 15-19 tahun). Dapat ditambahkan bahwa 15 juta wanita remaja menyumbangkan bayi terhadap kelahiran yang terjadi tiap tahun, yang besarnya 1/5 dari seluruh kelahiran dunia, dan kebanyakan terjadi di negara sedang berkembang (Bustan, 2000).
Berdasarkan hasil penelitian dari Koordinator Kesehatan Reproduksi Jaringan Epidomologi Nasional, 15% dari 2.224 mahasiswa di 15 Universitas negeri dan swasta telah biasa melakukan hubungan seks diluar nikah (Agustiar, 2007). Hasil survey yang dilakukan Bali Post tahun 2000 di 12 kota di Indonesia yaitu terdapat penerimaan angka kasar sebesar 11% remaja di bawah usia 19 tahun pernah melakukan hubungan seksual dan berpotensi melakukan aborsi, sedangkan 59,6% remaja di atas 19 tahun juga pernah melakukan hubungan seksual dan berpeluang lebih besar untuk melakukan aborsi (Balipost, 2007).
Hasil survey yang dilakukan oleh pihak kepolisian dan TNI pada bulan September 2002 di Kota Baturaja Sumatera Selatan terdapat banyaknya tempat-tempat hiburan dan “tempat-tempat persinggahan” atau “peristirahatan” seperti diskotik, tempat karaoke, dan lain-lain yang dihuni oleh remaja dengan usia 18-24 tahun. Berdasarkan penggeledahan yang dilakukan setiap bulan, didapatkan informasi 70% remaja di tempat-tempat tersebut melakukan sex intercourse (hubungan kelamin) dan ketika terjadi kehamilan yang tidak diinginkan mereka cenderung untuk melakukan aborsi, selebihnya yang 30% bersikap kontra terhadap aborsi dan lebih memilih meneruskan kehamilannya dengan berbagai macam alasan yang bersifat individual (Dokumentasi Kepolisian Baturaja, 2002). Mendukung hal tersebut pada tahun 2003 Kabid Pengendalian Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Jawa Barat, Danu Wisastra, mengadakan survey pada 5 kota di Indonesia yaitu Kupang, Palembang, Singkawang, Tasik Malaya, dan Cirebon. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 36,35% remaja berusia di atas 18 tahun telah melakukan hubungan seks pranikah dan dari jumlah tersebut 40,1% diantaranya tidak menggunakan alat kontrasepsi dan siap melakukan aborsi jika terjadi kehamilan (BKKBN,2007).
Khusus untuk Sulawesi Selatan pada tahun 2007, kasus HIV/AIDS mengalami peningkatan. Ini terbukti pada akhir tahun 2006 masih tercatat sekitar 900 kasus HIV/AIDS. Namun,pada Juni 2007 sudah naik menjadi 1.564 kasus dan bahkan melonjak drastis hingga November 2007 dengan 1.630 kasus (Depkes, 2008).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, di Sulawesi Selatan angka penderita HIV/AIDS mencapai 1.800 jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari Makassar. Populasi pengidap HIV/AIDS di Makassar makin tidak terkendali. Dalam kurun waktu setahun, jumlah pengidap HIV/AIDS meningkat dua kali lipat. Tercatat, di tahun 2006 angka penderita mencapai 786 orang, dan di tahun 2007 meningkat menjadi 1.432 orang atau terjadi peningkatan hampir 100 persen atau sekitar 646 orang (Depkes, 2008).
Di Sulawesi Selatan data yang bersumber dari BKKBN, Pasangan Usia Subur (PUS) tahun 2007 sebanyak 1.219.516 pasangan, sedangkan PUS yang dibawah umur 20 tahun sebanyak 50.952 pasangan atau 4,18% dari seluruh pasangan usia subur. Rendahnya umur perkawinan pertama ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor sosial ekonomi, pengetahuan penduduk yang masih rendah akan masalah pendewasaan perkawinan, dan masih banyaknya orang tua yang takut bila anaknya menjadi perawan tua (BKKBN, 2008).
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Muhammad Jufri, pada tahun 2006 bahwa sebanyak 29,24% mahasiswa di Makassar setuju dengan seks pranikah. Alasan mahasiswa yang setuju dengan budaya ini di antaranya karena kebutuhan dasar, asal tidak hamil, tuntutan zaman dan coba-coba atau latihan. Hasil penelitian lain yang telah diperoleh yaitu sebanyak 68,86% menyatakan pernah bergandengan tangan dengan pasangan, bercium pipi (50%), ciuman bibir (51,88%), saling membelai dengan pasangan (65,26%) meraba payudara (34,90 %) dan senggama (21,69%) (Jufri, 2006).
Hasil survei yang telah dilakukan di UNHAS tahun 2008, mahasiswa sebanyak 3028 orang, penelitian ini menunjukkan bahwa 260 orang (8,6%) mahasiswa yang telah melakukan hubungan seks pranikah dan yang tidak pernah melakukan hubungan seks pranikah sebesar 2155 (71,2%). Dari seluruh responden yang di survai terdapat 613 (20,2%) responden yang tidak mengisi kuesioner. Untuk penelitian di Fakultas Kesehatan Masyarakat, UNHAS, dengan jumlah sampel mahasiswa sebanyak 413 orang, menunjukkan bahwa 20 orang (6,9%) mahasiswa yang mengaku telah melakukan hubungan seks pranikah dan sisanya tidak pernah melakukan hubungan seks pranikah (HEART, 2008).
Dari berbagai hasil penelitian inilah yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang berhubungan terjadinya seks menyimpang pada mahasiswa FKM UNHAS tahun 2008.
Tingginya persentase mahasiswa/remaja yang telah melakukan hubungan seks pranikah maka seharusnya remaja putri diberi bimbingan dari lingkungan yang kecil yaitu keluarga supaya remaja terhindar dari perilaku seksual pranikah yang memungkinkan bisa menyebabkan terjadinya kehamilan.(idn)
Febriani Catursari
Jurusan Epidemiologi, FKM Unhas Angk.2005

Read More......

FILARIASIS

Selasa, 03 Maret 2009 · 0 komentar

Penyakit Filariasis (Kaki Gajah) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria limfatik yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Penyakit ini bersifat kronis dan bila tidak mendapat pengobatan dengan baik dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin, baik pada perempuan maupun laki-laki.
Penderita yang sudah cacat biasanya akan merasa rendah diri (stigma) apalagi dengan adanya anggapan yang keliru dari sebagian masyarakat tentang penyakit ini sebagai penyakit keturunan atau penyakit kutukan. Selain itu dapat menyebabkan penurunan produktifitas karena penderita tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menimbulkan kerugian ekonomi dan menjadi beban keluarga, masyarakat dan negara.
Filariasis terdapat di berbagai negara terutama di daerah tropis dan sub tropis seperti India, Banglades, Taiwan, China, Filipina, Afrika, Amerika Latin, Daerah Pasifik dan negara-negara di Asia Tenggara lainnya, dengan jumlah penderita 120 juta orang yang tersebar di 83 negara. Diperkirakan lebih dari 1 miliar (20% populasi dunia) beresiko untuk terinfeksi.
Seluruh wilayah Indonesia mempunyai resiko untuk penularan Filariasis karena cacing penyebabnya dan nyamuk penularnya tersebar luas. Dengan adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan di tanah air dapat meningkatkan penularan dan penyebarluasan Filariasis.

Hal ini disebabkan karena timbulnya berbagai kerusakan lingkungan seperti banyaknya tambak-tambak ikan yang tidak terawatt, pembabatan hutan, banjir dan lain-lain sehingga dapat memperlias habitat nyamuk penularnya. Selain banyaknya pengungsi dari lokasi yang endemis ke daerah lain yang tidak endemis
Filariasis disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial yaitu Wucheria Bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori, dengan vektor ditemukan berbagai spesies nyamuk Culex, Aedes dan Anopheles, Mansonia dan Armigeres.
Gejala dini Filariasis menunjukkan peradangan kelenjar limfa (limfadenitis, limfangitis) yang sifatnya hilang timbul. Gejala lanjut berupa limfoedema dan elephantiasis yang sifatnya menetap dan kronis sehingga Filariasis merupakan salah satu penyebab utama timbulnya kecacatan, kemiskinan dan masalah-masalah social lainnya karena seumur hidup mereka tidak dapat bekerja secara optimal dan sangat merugikan masyarakat, negara dan menjadi beban keluarga.
Agar Filariasis tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat, diharapkan angka mikrofilaria (Mf rate) mencapai

Read More......

SKIZOFRENIA

Minggu, 01 Maret 2009 · 0 komentar

SKIZOFRENIA merupakan penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).
Skizofrenia bisa mengenai siapa saja. Data American Psychiatric Association (APA) tahun 1995 menyebutkan 1% populasi penduduk dunia menderita skizofrenia.
75% Penderita skizofrenia mulai mengidapnya pada usia 16-25 tahun. Usia remaja dan dewasa muda memang berisiko tinggi karena tahap kehidupan ini penuh stresor. Kondisi penderita sering terlambat disadari keluarga dan lingkungannya karena dianggap sebagai bagian dari tahap penyesuaian diri.
Pengenalan dan intervensi dini berupa obat dan psikososial sangat penting karena semakin lama ia tidak diobati, kemungkinan kambuh semakin sering dan resistensi terhadap upaya terapi semakin kuat. Seseorang yang mengalami gejala skizofrenia sebaiknya segera dibawa ke psikiater dan Psikolog
Indikator premorbid (pra-sakit) pre-skizofrenia antara lain ketidakmampuan seseorang mengekspresikan emosi: wajah dingin, jarang tersenyum, acuh tak acuh. Penyimpangan komunikasi: pasien sulit melakukan pembicaraan terarah, kadang menyimpang (tanjential) atau berputar-putar (sirkumstantial). Gangguan atensi: penderita tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, atau memindahkan atensi. Gangguan perilaku: menjadi pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, menantang tanpa alasan jelas, mengganggu dan tak disiplin.

Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi dua kelas:
1. Gejala-gejala Positif
Termasuk halusinasi, delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2. Gejala-gejala Negatif
Gejala-gejala yang dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/mengekspresikan emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktifitas, tidak dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara (alogia).
Meski bayi dan anak-anak kecil dapat menderita skizofrenia atau penyakit psikotik yang lainnya, keberadaan skizofrenia pada grup ini sangat sulit dibedakan dengan gangguan kejiwaan seperti autisme, sindrom Asperger atau ADHD atau gangguan perilaku dan gangguan stres post-traumatik. Oleh sebab itu diagnosa penyakit psikotik atau skizofrenia pada anak-anak kecil harus dilakukan dengan sangat berhati-hati oleh psikiater atau psikolog yang bersangkutan.
Pada remaja perlu diperhatikan kepribadian pra-sakit yang merupakan faktor predisposisi skizofrenia, yaitu gangguan kepribadian paranoid atau kecurigaan berlebihan, menganggap semua orang sebagai musuh. Gangguan kepribadian skizoid yaitu emosi dingin, kurang mampu bersikap hangat dan ramah pada orang lain serta selalu menyendiri. Pada gangguan skizotipal orang memiliki perilaku atau tampilan diri aneh dan ganjil, afek sempit, percaya hal-hal aneh, pikiran magis yang berpengaruh pada perilakunya, persepsi pancaindra yang tidak biasa, pikiran obsesif tak terkendali, pikiran yang samar-samar, penuh kiasan, sangat rinci dan ruwet atau stereotipik yang termanifestasi dalam pembicaraan yang aneh dan inkoheren.
Tidak semua orang yang memiliki indikator premorbid pasti berkembang menjadi skizofrenia. Banyak faktor lain yang berperan untuk munculnya gejala skizofrenia, misalnya stresor lingkungan dan faktor genetik. Sebaliknya, mereka yang normal bisa saja menderita skizofrenia jika stresor psikososial terlalu berat sehingga tak mampu mengatasi. Beberapa jenis obat-obatan terlarang seperti ganja, halusinogen atau amfetamin (ekstasi) juga dapat menimbulkan gejala-gejala Psikosis
Penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari reaksi yang berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, terlalu memanjakan dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Perawatan terpenting dalam menyembuhkan penderita skizofrenia adalah perawatan obat-obatan antipsikotik yang dikombinasikan dengan perawatan terapi psikologis.
Kesabaran dan perhatian yang tepat sangat diperlukan oleh penderita skizofrenia. Keluarga perlu mendukung serta memotivasi penderita untuk sembuh. Kisah John Nash, doktor ilmu matematika dan pemenang hadiah Nobel 1994 yang mengilhami film A Beautiful Mind, membuktikan bahwa penderita skizofrenia bisa sembuh dan tetap berprestasi

Read More......

HIMAPID in Action

Distribusi Tempat

Distribusi Waktu

Feedjit

Hamster Epid

Jumlah Pengunjung