LEPTOSPIRSOSIS

Rabu, 22 April 2009 · 0 komentar

Dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang pada tahun 1916. (Inada R, Ido Y, et al: Etiology, mode of infection and specific therapy of Weil's disease. J Exp Med 1916; 23: 377-402.)

Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit occupational ini.

Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis.

Angka kejadian penyakit Leptospira sebenarnya sulit diketahui. Penemuan kasus leptospirosis pada umumnya adalah underdiagnosed, unrreported dan underreported sejak beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited, salah diagnosis dan nonfatal.

Di Amerika Serikat (AS) sendiri tercatat sebanyak 50 sampai 150 kasus leptospirosis setiap tahun. Sebagian besar atau sekitar 50% terjadi di Hawai. Di Indonesia penyakit demam banjir sudah sering dilaporkan di daerah Jawa Tengah seperti Klaten, Demak atau Boyolali.

Beberapa tahun terakhir di daerah banjir seperti Jakarta dan Tangerang juga dilaporkan terjadinya penyakit ini. Bakteri leptospira juga banyak berkembang biak di daerah pesisir pasang surut seperti Riau, Jambi dan Kalimantan.

Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%. Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori ini. Anak balita, orang lanjut usia dan penderita “immunocompromised” mempunyai resiko tinggi terjadinya kematian.

Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko kematiannya lebih tinggi lagi

Paparan terhadap pekerja diperkirakan terjadi pada 30-50% kasus. Kelompok yang berisiko utama adalah para pekerja pertanian, peternakan, penjual hewan, bidang agrikultur, rumah jagal, tukang ledeng, buruh tambang batubara, militer, tukang susu, dan tukang jahit. Risiko ini berlaku juga bagi yang mempunyai hobi melakukan aktivitas di danau atau sungai, seperti berenang atau rafting.

Penelitian menunjukkan pada penjahit prevalensi antibodi leptospira lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diduga kelompok ini terkontaminasi terhadap hewan tikus. Tukang susu dapat terkena karena terkena pada wajah saat memerah susu. Penelitian seroprevalensi pada pekerja menunjukan antibodi positif pada rentang 8-29%.

Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Leptospira berbentuk spiral yang menyerang hewan dan manusia dan dapat hidup di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Sistem klasifikasi tradisional didasarkan atas patogenitas yang membedakan antara spesies patogen yaitu Leptospira interrogans dan spesies nonpatogen yang hidup bebas, yaitu Leptospira biflexa. Leptospira berbentuk ulir yang rapat, tipis dengan panjang 5-15 mm. Leptospira dapat hidup berminggu-minggu di dalam air, khususnya pada pH basa. (Brooks, 2005)

Read More......

FRAMBUSIA

· 2 komentar

Didunia, pada awal tahun 1950-an diperkirakan banyak kasus frambusia terjadi di Afrika, Asia, Amerika Selatan dan Tengah serta Kepulauan Pasifik, sebanyak 25 – 150 juta penderita. Setelah WHO memprakarsai kampanye pemberantasan frambusia dalam kurun waktu tahun 1954 – 1963, para peneliti menemukan terjadinya penurunan yang drastic dari jumlah penderita penyakit ini. Namun kemudian kasus frambusia kembali muncul akibat kurangnya fasilitas kesehatan public serta pengobatan yang tidak adekuat. Dewasa ini, diperkirakan sebanyak 100 juta anak-anak beresiko terkena frambusia.

Selama periode 1990-an, frambusia merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang terdapat hanya di tiga negara di Asia Tenggara, yaitu India, Indonesia dan Timor Leste. Berkat usaha yang gencar dalam pemberantasan frambusia, tidak terdapat lagi laporan mengenai penyakit ini sejak tahun 2004.di India dengan mendeklarasikan pemberantasan penyakit frambusia dengan sasaran tidak adanya lagi laporan mengenai kasus baru dan membebaskan India bebas dari penyakit ini sebelum tahun 2008.

Di Indonesia sendiri, penyakit ini seharusnya, sudah dapat dibasmi sejak Pelita III karena penanganannya sangat sederhana melalui satu kali penyuntikan, namun kenyataannya penyakit ini masih tetap menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Indonesia oleh karena metode, organisasi, manajemen pemberantasan yang kurang tepat dan pembiayaan yang kurang atau daerah tersebut selama ini tidak tersentuh oleh pemerataan pembangunan. Paling tepat kalau dikatakan bahwa masih adanya frambusia di suatu wilayah sebagai resultan dari upaya pemberantasan yang kurang memadai dan tidak tersentuhnya daerah tersebut dengan pembangunan sarana dan prasarana wilayah, khususnya didaerah-daerah terpencil seperti di Propinsi Sulawesi Tenggara. Dari empat Kabupaten dan dua Kota, penyakit frambusia ditemukan pada tiga Kabupaten dengan prevalensi frambusia menular sebesar 20,27 per 10.000 penduduk dan prevalensi frambusia tidak menular sebesar 16,65 per 10.000 penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi dari kebijakan Departemen Kesehatan yang telah ditetapkan yakni <>

Frambusia termasuk penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena penyakit ini terkait dengan, sanitasi lingkungan yang buruk, kurangnya kesadaran masyarakat akan kebersihan diri, kurangnya fasilitas air bersih, lingkungan yang padat penduduk dan kurangnya fasilitas kesehatan umum yang memadai, apalagi di beberapa daerah, pengetahuan masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan rasa sakit pada penderita..

Penyakit frambusia ditandai dengan munculnya lesi primer pada kulit berupa kutil (papiloma) pada muka dan anggota gerak, terutama kaki, lesi ini tidak sakit dan bertahan sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Lesi kemudian menyebar membentuk lesi yang khas berbentuk buah frambus (raspberry) dan terjadi ulkus (luka terbuka). Stadium lanjut dari penyakit ini berakhir dengan kerusakan kulit dan tulang di daerah yang terkena dan akan mengakibatkan disabilitas dimana sekitar 10-20 persen dari penderita yang tidak diobati akan cacat seumur hidup dan menimbulkan stigma social, yang tentunya akan mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat, hal inilah kemudian menjadi tantangan bagi seorang publich health dalam mencegah timbulnya penyakit tersebut dan memperpanjang masa hidup seseorang.




Read More......

Faktor Risiko Stroke

Sabtu, 11 April 2009 · 0 komentar


FAKTOR RISIKO KEJADIAN PENYAKIT STROKE PADA PASIEN RAWAT INAP RSUD NENE MALLOMO KABUPATEN SIDRAP TAHUN2007

Stroke merupakan penyakit yang tingkat mortalitas dan morbiditasnya tinggi. Walaupun menurut data epidemiologi akhir-akhir ini cenderung menurun di negara maju tetapi meningkat di negara berkembang. Stroke merupakan salah satu penyebab gangguan otak pada usia produktif dan menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung dan kanker dan menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di rumah sakit.
Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor risiko kejadian penyakit stroke pada pasien rawat inap di RSUD Nene Mallomo Kabupaten Sidrap. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan rancangan “Case Control Study”. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 136 orang, dengan kasus 68 orang dan control 68 orang atau dengan perbandingan 1 : 1. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.
Pengumpulan data dilakukan dengan pengambilan data sekunder yang diperoleh dari rekam medik atau buku status penderita. Data dikumpulkan berdasarkan variabel yang diteliti yaitu hipertensi, penyakit jantung, hiperkolesterolemia, dan diabetes mellitus. Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji statistic Odds ratio (OR) untuk membandingkan antara kasus dan kontrol terhadap faktor risiko.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipertensi, penyakit jantung, hiperkolesterolemia dan diabetes mellitus memiliki hubungan yang bermakna sebagai faktor risiko kejadian penyakit stroke
Disarankan perlunya melakukan kontrol terhadap faktor risiko terjadinya stroke seperti pemeriksaan tekanan darah dan gula darah sehingga jika ditemukan adanya peningkatan tekanan darah dan kadar gula darah dapat dilakukan pencegahan secara dini. Perlunya penerapan gaya hidup yang lebih sehat seperti pengaturan pola makan dan menghindari konsumsi garam dan lemak berlebih Penyuluhan yang lebih intensif dari aparat terkait mengenai faktor risiko kejadian stroke agar masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan sehingga angka morbiditas dan mortalitas stroke dapat diminimalisir.(idn)

Daftar Pustaka : 39 (1996 – 2008)
Kata Kunci : Faktor risiko, Stroke
UPRIANAH (MAHASISWA JUR.EPIDEMIOLOGI FKM UNHAS ANGK.2005)

Read More......

Imunisasi Campak

· 0 komentar


BEBERAPA FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN STATUS IMUNISASI CAMPAK PADA BATITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SABBANGPARU KECAMATAN SABBANGPARU KABUPATEN WAJO TAHUN 2009
Imunisasi campak merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukkan vaksin campak kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit campak, yang diberikan pada umur bayi 9-11 bulan. Faktor yang berhubungan dengan status imunisasi campak pada batita yang diteliti dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu, pengetahuan ibu, aktivitas ibu, status anak, dan tempat pencarian pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan status imunisasi campak pada batita di wilayah kerja Puskesmas Sabbangparu Kecamatan Sabbangparu Kabupaten Wajo. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survei (observasional) dengan rancangan cross sectional study. Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak yang berkunjung pada Puskesmas Sabbangparu tahun 2007. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode Systematic Random Sampling, dengan besar sampel 151 bayi. Pengolahan data dengan menggunakan komputerisasi program SPSS dan analisis pada penelitian ini adalah univariat dan bivariat.
Hasil penelitian diperoleh bahwa tingkat pendidikan ibu (pValue = 0,000, φ = 0,347), pengetahuan ibu (pValue = 0,000, φ = 0,357), aktivitas ibu (pValue = 0,000, φ = 0,439), dan tempat pencarian pengobatan (pValue = 0,000, φ = 0,701) memiliki hubungan dengan status imunisasi campak pada batita. Sedangkan status anak (p Value=0,340) tidak memiliki hubungan dengan status imunisasi campak pada batita.
Perlu disosialisasikan lagi mengenai imunisasi campak dan penyakit campak oleh juru imunisasi dan kader-kader posyandu kepada ibu yang membawa anaknya imunisasi campak baik dipuskesmas maupun di posyandu (idn).
Jumlah Pustaka 36 (1993-2008)
Kata Kunci : Campak
EKA WULANSARI,SKM (Mahasiswa jurusan Epidemiologi FKM UNHAS)



Read More......

HIMAPID in Action

Distribusi Tempat

Distribusi Waktu

Feedjit

Hamster Epid

Jumlah Pengunjung